Titik Nadir Demokrasi Tentang Kafir Politik

Fordem.id – Kalau menjelaskan kepada jamaah-2 kecil kaum muslimin yang awam tentang kufur atau kafir, biasanya saya memakai entry point soal bersih atau kebersihan.

Misalnya begini : sepanjang seseorang masih mandi dan makan tiap hari, maka ia tidak bisa disebut kafir dalam arti total.

Orang mandi, ightighsal, alias membersihkan diri sendiri, berarti melaksanakan amanat atau perintah Allah untuk menjaga kebersihan badan.

Bahwa diluar itu : otak, perilaku, perusahaan atau jabatannya belum di ghust atau belum dibersihkan, disitulah barangkali letak fungsi kufurnya. Tetapi tindakan memandikan badan sendiri itu adalah pekerjaan kemusliman.

Demikian juga sepanjang orang masih makan dan minum, maka ia masih memiliki eksistensi kemusliman, karena makan dan minum adalah memenuhi kehendak Tuhan agar hamba-hamba Nya bersetia kepada kehidupan, antara lain dengan cara memelihara kesehatan.

Jadi menurut cara berpikir ini, hampir tidak ada orang yang bisa seratus persen dikategorikan sebagai kafir. Apalagi orang yang meskipun tidak bersyahadat, tidak melakukan shalat, puasa, zakat dan haji : biasanya masih tetap berbuat baik kepada anak istrinya, mencintai mereka, mencarikan nafkah dan sebagainya.

Maka tidak bisa saya bayangkan bahwa ada orang yang sehari-harinya masih mandi, makan, menafkahi keluarganya, bertetangga baik-2 dan santun kepada orang banyak—bisa pada suatu sore kita tuding sebagai orang kafir, lantas kita halalkan darahnya, atau minimal kita personanongratakan dan kita kucilkan.

Baca Juga:  Pemilu, Melembagakan Konflik untuk Integrasi Bangsa

Dalam konteks keilahian dan keagamaan saja pun tak bisa saya bayangkan terjadi pengkafiran semacam itu. Apalagi dalam konteks yang lebih duniawi dan pada tataran yang lebih lemah dan relatif kriteria nilai-nilainya– umpamanya dunia politik.

Kalau mulut kekuasaan politik di suatu negara menuding seseorang “kamu tidak bersih lingkungan”, di kepala saya muncul berjilid-jilid buku yang menguraikan beribu-ribu pertanyaan dan kegelisahan.

Dari pertanyaan dan kegelisahan yang berkonteks politik praktis, keanehan budaya kekuasaan, sampai yang berkonteks filosofis, etimologis, atau bahkan ideologis dan teologis.

Didalam perspektif nilai akidah dan hukum agama saja- pun term “kafir, musyrik, munafik, muslim atau mukmin”, tetap terbatasi maknanya oleh konteks-konteks dalam ruang dan waktu, dimana suatu peristiwa dan perilaku berlangsung.

Kalau ada pedagang beragama Islam menipu pembeli beragama Budha, tidak bisa kita katakan “orang muslim menipu orang kafir”.

Perbuatan menipu itu adalah kekufuran, sehingga tidak bisa membuat kita mengatakan bahwa dalam kasus penipuan itu si penipu adalah muslim.

Baca Juga:  AGAMA, TERAPI MAKNA DAN SELF HEALING

Kalau seseorang menipu, maka dalam dunia ruang dan waktu penipuan itu si penipu adalah kafir.

Maka sesungguhnya kalau kita berpikir jujur, di dalam kehidupan sosial masyarakat kita, kata “kafir, muslim, munafik, musyrik” dan seterusnya itu selama berabad-abad mengalami pengorbanan-2 —yang sungguh tidak kecil dan tidak sepele.

Mengalami distorsi, pembiasan, pembelokan bahkan pembalikan arti. Dan kalau pembangkangan makna sebiji kata itu berada di genggaman tangan seseorang atau sekelompok manusia yang memiliki kekuasaan tak terbatas —memiliki ribuan senapan dan prajurit— maka peristiwa-2 besar sejarah yang tragis berlangsung berdasarkan sulutan yang sebenarnya amat sepele.

Ratusan ribu orang bisa tertumpas nyawanya berkat satu kata yang maknanya diplesetkan/dikorupsi. Puluhan ribu orang terpuruk nasibnya ke dalam kegelapan ekonomi dan politik, hanya oleh pembiasan kata “pembangunan” misalnya.

Jutaan lainnya bisa kehilangan tanah, kehilangan sawah, kehilangan nafkah, kehilangan kios jualan, kehilangan pekerjaan, kehilangan lingkungan pergaulan, atau bahkan meringkuk di dalam sel-sel sempit berdinding batu tebal dingin —hanya oleh pembangkangan sekelompok manusia terhadap perjanjian murni arti sebuah kata.

Jika pemlesetan makna kata itu sekadar merupakan kasus kebodohan, maka kita hanya akan bersedih dan menangis.

Baca Juga:  Mengintip Ucapan Selamat Idul Adha dari Ganjar dan Anies

Tetapi kalau pemlesetan itu justru didasari — bahkan didayagunakan untuk rekayasa- rekayasa kekuasaan — maka mungkin seseorang akan hanya menghadapi dua kemungkinan. Pertama, diam menyerah dan hancur. Kedua, berang, marah, melawan dan mati.

Jadi secara keseluruhan kita sedang berhadapan dengan tiga masalah besar. Pertama, siapakah atau pihak manakah didalam sejarah, yang disepakati sebagai berwenang untuk menentukan makna sebuah kata?.

Kedua, dalam suatu sistem politik yg berlaku, adakah institusi hukum atau lembaga kebudayaan yang memiliki otoritas dan kewibawaan untuk mengontrol subyektivisme kekuasaan, yang seringkali memaknakan kata “bersih, PKI, balela, subversif” dan seterusnya seenaknya sendiri dari sudut kepentingan kelompoknya — yang apalagi dibungkus di dalam jargon kepentingan umum?.

Ketiga, berapa dekade sejarah diperlukan untuk menyembuhkan situasi dimana —setidaknya sebagian— kekuasaan yang melakukan pembangkangan kata itu justru secara mantap dan khusyuk merasa bahwa yg dilakukannya itulah yang paling benar?.

Ataukah pertanyaan-pertanyaan semacam yang saya ajukan ini justru dianggap sebagai “cacat politik” atau “kafir politik” ?.

[ Disalin dari buku : Titik Nadir Demokrasi : Kesunyian Manusia dalam Negara, Emha Ainun Nadjib. Penerbit Zaituna, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Nopember 1996, hal. 296-301].

Penulis : Khafid Sirotudin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *