Oleh: Hatib Rachmawan
Dosen Universitas Ahmad Dahlan
Fordem.id – Demo mahasiswa sering kali menjadi sinar di tengah gelapnya realitas sosial-politik Indonesia. Sebuah tulisan di Kompas.id oleh Sukidi menggarisbawahi peran gerakan mahasiswa dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang semakin menunjukkan keanehan. Namun, seperti biasa, respons dari kelompok pro-pemerintah selalu sama: tudingan bahwa mahasiswa telah ditunggangi oleh kelompok oposisi yang tidak mendapat tempat di kabinet. Pola ini terus berulang—status quo selalu berusaha merusak idealisme mahasiswa dengan narasi konspiratif. Lebih dari itu, buzzer pemerintah pun siap bergerak, membangun framing di media agar opini publik dapat dikendalikan. Tinggal menunggu waktu.
Jangan Remehkan Gerakan Mahasiswa
Generasi mahasiswa saat ini adalah native digital. Mereka tumbuh dan berkembang dalam era teknologi yang serba cepat. Daya jelajah mereka di dunia maya jauh melampaui pemahaman rata-rata pemegang kekuasaan saat ini. Mereka tak perlu kuliah satu semester untuk memahami bagaimana isu diframing dan bagaimana hoaks diproduksi. Kemampuan memilah kebenaran dari propaganda telah menjadi naluri dasar mereka.
Banyak yang menganggap mahasiswa zaman sekarang sebagai generasi rebahan—acuh dan apatis. Namun, justru dalam keheningan itu tersimpan sinyal bahaya bagi penguasa. Jika mereka turun ke jalan, itu bukan sekadar aksi spontan, melainkan sebuah pertanda bahwa ada sesuatu yang begitu besar telah mengusik kenyamanan mereka. Keadaan ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah.
Di dunia maya, netizen Indonesia sudah terkenal sebagai yang paling vokal dan radikal dalam membangun opini. Jika mereka bergerak, perubahan bukan sekadar kemungkinan, melainkan keniscayaan. Gelombang kekecewaan yang awalnya hanya terlihat di jalanan bisa dengan cepat membesar menjadi badai yang mengguncang stabilitas kekuasaan.
Kebijakan Pemerintah yang Mengoyak Keadilan
Di tengah kecamuk ini, kebijakan pemerintah terus mengikis kepercayaan publik. Rasa keadilan seakan menjadi barang langka yang semakin sulit ditemukan. Sakitnya begitu nyata, dada semakin sesak.
Lihatlah bagaimana pengusaha kecil di sektor susu dikejar pajak, sementara koruptor justru mendapat vonis ringan. Bandingkan dengan nasib seorang pencuri ayam yang harus menerima hukuman berat dan kekerasan aparat. Di mana letak keadilannya? Bagaimana mungkin hukum bisa berjalan dengan dua wajah yang berbeda—satu tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah?
Di lapangan, aparat penegak hukum tampak lebih sibuk membela kepentingan elite ketimbang rakyat. Hal ini tentu berdampak langsung pada indeks kepercayaan publik terhadap institusi negara yang semakin menurun drastis.
Ironisnya, di tengah ketidakpuasan yang semakin membesar, pemerintah justru mengalihkan perhatian dengan isu populis. Program seperti petani milenial dengan gaji Rp10 juta atau Makan Bergizi Gratis (MBG) tampak lebih seperti gimmick daripada solusi nyata. Wacana-wacana ini tidak lebih dari sekadar upaya meredam kegelisahan publik dengan janji-janji manis yang sulit direalisasikan.
Sampai Kapan?
Pertanyaannya kini, sampai kapan Indonesia akan terus seperti ini? Apakah kita akan terus membiarkan generasi muda kehilangan harapan, hingga akhirnya memilih untuk pergi dan membangun masa depan di negeri lain? Apakah harus menunggu bangsa ini benar-benar kehilangan potensi terbaiknya sebelum ada perubahan yang nyata?
Gelapnya negeri ini bukan sekadar akibat dari kebijakan yang salah arah, tetapi juga karena ketidakpedulian kita untuk terus bersuara. Mahasiswa telah memberikan sinyalnya. Masyarakat pun merasakan dampaknya. Maka, pilihan ada di tangan kita: terus diam dalam kegelapan atau bersama-sama menyalakan kembali cahaya keadilan?