Oleh: Busyro Muqoddas – (Ketua PP Muhammadiyah)
Kalau kita membaca kembali salah satu poin penting dan fundamental Keputusan Muktamar ke-48 di Surakarta itu adalah ketahanan keluarga. Ketika di antara kita semua membaca itu, bukan agenda Aisyiyah saja, tapi juga umat beragama, bangsa dan negara. Karena, ketahanan keluarga itu penting dengan sejumlah alasan.
Bertitik tolak dari isu ketahanan keluarga, kami mencoba menyampaikan pokok-pokok persoalan yang ditemukan oleh Majelis Hukum dan HAM (MHH), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP), dan Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah ketika melakukan riset dan advokasi di lapangan.
Temuan-temuan kami di lapangan itu menguatkan atau selaras dengan pandangan sejumlah pengamat bahwa sejak 10 tahun lalu telah terjadi proses-proses manajemen ketatakelolaan negara yang mengabaikan hasil riset dan nir-etika. Rasa-rasanya, dalam hal tata kelola pemerintahan saat ini semakin kurang melakukan proses-proses manajemen ketatakelolaan berbasis etika ilmu. Padahal, idealnya, riset yang berorientasi pada kemaslahatan publik yang ditunjang etika keilmuan dan moralitas menjadi penuntun utama.
Langsung maupun tidak langsung, proses pengelolaan negara semacam itu berdampak pada atau bersentuhan dengan sendi-sendi keluarga dan ketahanan keluarga itu sendiri. Di tengah ancaman yang konkret terhadap keluarga dan ketahanan keluarga di Indonesia, narasi-narasi yang beredar yang dianggap penting, justru hanya retorik saja, terutama ketika dijadikan bahan kampanye politik; makan siang gratis, pengentasan stunting, dan lain sebagainya. Isu-isu itu penting, tapi hanya dijadikan bahan kampanye semata dan sekarang menimbulkan masalah baru. Juga, karena “pendidikan keluarga” yang ditampilkan terang-terangan oleh pejabat baik di level eksekutif, legislatif, dan yudikatif justru tidak mendidik: memuluskan dinasti politik dengan memanfaatkan lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
Tentu berbagai persoalan yang menghadang terkait dengan keluarga dan ketahanan keluarga bukan tanggung jawab Aisyiyah semata. Tapi juga oleh Muhammadiyah beserta majelis, lembaga, dan organisasi otonom. Apalagi bahwa dasar persoalan ini adalah sungguhlah sangat mendasar.
Permasalahan yang sangat serius ini yaitu bahwa perkembangan dan praktik politik saat ini yang semakin tercerabut dari akar yang sesungguhnya dituntut dan disepakati dalam rumusan formil nilai-nilai dasar kebangsaan terutama empat alinea. Jika diringkas, rumusan formil nilai dasar kebangsaan itu menggambarkan ada relasi antara negara, rakyat, dan alam semesta dan Tuhan. Bahwa penjajahan itu bentuk pelanggaran perikemanusiaan dan perikeadilan.
Terjemahan nilai-nilai formil itu jika ditafsirkan, maka problemnya antara lain adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber malapetaka, yakni UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Pilkada. Ketiga Undang-undang ini hasil konkretnya adalah pemilu yang sarat politik uang. Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah telah memfatwakan bahwa politik uang adalah haram.
Kalau mulai dari pemilu 2004 hingga saat ini, pemilu yang sarat politik uang itu telah menciptakan wujud pemerintahan yang koruptif, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Jadi, sesungguhnya, tidak sulit menemukan data yang menunjukkan korelasi bahwa pemilu yang dimenangi oleh calon-calon legislatif yang menggunakan politik uang itu menghasilkan politisi dan pejabat yang koruptif sehingga menciptakan wujud kehidupan politik yang sarat korupsi karena segala kepentingan menjadi objek transaksi (political corruption).
*) Red. Fordem.id