Oleh: Tandang Suryanto
Fordem.id – Apakah pemberantasan nepotisme dan politik dinasti hanyalah utopia dalam demokrasi Indonesia? Dengan rendahnya literasi politik dan kuatnya patronase, jawabannya cenderung ya.
Politik dinasti bukan hanya soal darah, tetapi juga sistem kekuasaan yang diwariskan kepada keluarga dan kroni. Di banyak daerah, jabatan publik telah menjadi “aset” keluarga yang diwariskan tanpa rasa malu. Dan publik seringkali memaklumi hal ini sebagai sesuatu yang “lumrah.”
Selama suara rakyat lebih mudah dibeli dengan bantuan sesaat atau popularitas semu, akal sehat demokrasi tetap lumpuh. Politik dinasti pun tumbuh subur di panggung utama, bukan di balik layar.
Lemahnya penegakan hukum terhadap nepotisme, absennya regulasi yang melarang konflik kepentingan dalam pemilu, dan stagnasi kaderisasi partai politik memperdalam krisis demokrasi. Hukum seringkali hanya sebatas prosedur, sementara etika politik hampir tidak bernyawa.
Di Korea Selatan, nepotisme dianggap sebagai luka sejarah, warisan rezim otoriter yang tak boleh terulang. Namun di Indonesia, politik kekeluargaan justru dirayakan sebagai prestasi. Jabatan publik kini menjadi simbol status sosial, bukan amanat rakyat.
Maka, jika ditanya apakah politik dinasti akan berjaya di masa depan? Dengan arah yang ada saat ini, jawabannya : hampir pasti.
Apakah sejarah akan mencatat bahwa pemberantasan nepotisme –termasuk politik dinasti– hanyalah utopia dalam demokrasi Indonesia? Melihat rendahnya literasi politik dan kuatnya kultur patronase, jawabannya tampak pesimis.
Politik dinasti bukan sekadar soal garis keturunan. Ia adalah praktik sistemik yang menjadikan kekuasaan sebagai hak waris bagi keluarga, kroni, hingga lingkaran oligarki. Di banyak daerah, kursi Kepala Daerah, legislatif, dan jabatan strategis diwariskan secara terang-terangan. Anehnya, praktik ini sering dianggap wajar bahkan efisien.
Yang melanggengkan bukan hanya elit politik, tetapi juga rakyat. Ketika suara pemilih ditentukan oleh bantuan sesaat, popularitas atau kedekatan emosional, maka akal sehat demokrasi menjadi tumpul. Di ruang inilah politik dinasti tumbuh subur, tak lagi merasa perlu bersembunyi.
Penegakan hukum yang lemah, regulasi konflik kepentingan yang ompong dan partai politik yang gagal melakukan kaderisasi memperparah situasi. Hukum kita berhenti di formalitas, sementara etika politik nyaris tak punya ruang hidup.
Bandingkan dengan Korea Selatan, yang alergi terhadap nepotisme karena trauma otoriterisme. Indonesia sebaliknya : permisif. Politik kekeluargaan bukan ditolak, tapi dirayakan sebagai simbol “keberhasilan sosial”.
Maka jika ditanya apakah politik dinasti akan berjaya di masa depan? Segala tanda menunjukkan : iya.
Selama kesadaran publik belum terbangun dan sistem tidak direformasi, politik dinasti bukan hanya akan tetap ada. Ia akan menjadi wajah resmi demokrasi Indonesia yang baru : demokrasi rasa kekeluargaan.
Kalau begitu, kenapa tidak sekalian saja Indonesia deklarasikan diri sebagai negara Monarki Demokratis? Daripada terus menjadi bangsa munafik, pura-pura demokratis padahal kuasa diwariskan antar anggota grup WhatsApp keluarga.
Ubah saja Undang-Undang Dasar, bahwa Presiden boleh diwariskan ke anak, menantu, cucu, bahkan besan asal masih satu trah. Tak perlu kampanye, cukup unggah foto keluarga harmonis di Instagram elektabilitas langsung melonjak.
Partai politik? Tak usah kaderisasi. Cukup aktifkan jalur belakang keluarga. Kalau perlu, dirikan Universitas Politik Keturunan (UPK). Syarat masuk : bermarga terkenal atau pernah sekamar dengan pejabat. Lulusannya otomatis direkomendasikan mengisi jabatan strategis. Dari Kepala Desa hingga Presiden Direktur BUMN.
Sebagai bentuk transparansi, ubah saja KPU menjadi Komisi Pewarisan Umum. Bukan lagi mengurus pemilu, tapi menyusun silsilah kekuasaan berdasarkan darah biru dan jumlah likes di TikTok.
Dengan sistem ini, kita bisa menghemat APBN, mencegah konflik horisontal dan tentu saja menjaga stabilitas nasional. Tak ada lagi warga sipil masuk penjara karena kritik, tak ada lagi mahasiswa berdarah-darah karena protes. Semua sudah by design.
Kalau negara asing bertanya, cukup jawab : “Ini demokrasi lokal. Demokrasi Gotong Royong. Demokrasi kekeluargaan”.
Bahkan, model ini layak diekspor ke luar negeri. Kita beri nama Indonesia’s Family Based Governance Model : stabil, otentik, dan bebas resiko kalah.
Tak ada lagi kompetisi sengit. Tak perlu debat Capres. Tak perlu visi misi. Semua sudah selesai. Sudah disepakati di meja makan keluarga. Bersama sama makan nasi goreng dan pisang goreng.
Kendal, 5 Mei 2025