TAMAN SYURGA AISIYAH

Oleh: Gus Zuhron

Fordem.id – Entah sudah berapa puluh kali diundang untuk berbagi wawasan di majelis-majelis ilmu yang diselenggarakan Aisiyah. Suasananya selalu menyenangkan dan penuh semangat. Uniknya, suasana itu merata di berbagai tempat dan wilayah. Meskipun pesertanya didominasi ibu-ibu renta yang sudah ‘nduyuk-nduyuk’ saat berjalan menghadiri majelis ilmu. Auranya tidak pudar, semangatnya menyala, keikhlasannya sudah tergaransi 24 karat. Aisiyah memang tidak pernah gagal menghadirkan keteladanan khususnya dalam kecintaan terhadap ilmu.

Para bidadari senior ini mengerti betul adab dalam majelis ilmu. Mereka berlomba memilih tempat duduk yang paling depan, mempersiapkan catatan, apresiatif terhadap nara sumber, mendengarkan dengan khusuk, meskipun sesekali ada yang ngantuk he..he.. Sikap mental semacam itu tidak mungkin terbentuk jika proses kaderisasinya asal-asalan. Pemandangan yang sangat kontras jika dibandingkan dengan suasana kajian di forum-forum yang didominasi para akademisi. Biasanya yang tampak adalah kesibukan di depan laptop dan handphone masing-masing. Pembicara yang dihadirkan hanya sebagai aksesoris pelengkap agar forum itu masih dapat disebut ilmiah.

Baca Juga:  EKONOMI WASATHIYAH DALAM TINJAUAN TEOLOGI, IDEOLOGI DAN PRAKSIS

Kiyai Dahlan memang tidak salah memilih Nyai Walidah sebagai Pimpinan pertama Aisiyah. Fondasi awal yang diwariskan Nyai Ahmad Dahlan begitu kokoh dan mengakar. Amal usaha dan tradisi gerakan Aisiyah yang sangat ikonik menjadi bukti kongkrit yang tidak terbantahkan. Apa yang ditorehkan Walidah dan generasi penerusnya jelas tidak bisa dibandingkan dengan tokoh perempuan lain di Indonesia.

Seandainya Kartini masih hidup, pasti akan silau melihat kesuksesan gerakan perempuan berkemajuan ini. Karya Kartini tidak aple to aple jika dibandingkan dengan buah karya Nyai Walidah. Prestasi permaisuri Kiyai Dahlan jauh lebih gemilang dan membumi, tidak sekedar menulis surat di atas kertas, tetapi menulis karya dalam amal nyata. Sayangnya di Indonesia orang lebih sering memperingati hari Kartini ketimbang hari Nyai Walidah.

Baca Juga:  MUHAMMADIYAH GARIS HIJAU

Tradisi baik itu perlu terus dikembangkan, menembus radius yang lebih luas. Sudah saatnya Aisiyah berpikir siapa calon Bupati, Wali Kota, Gubernur, Menteri yang berasal dari Aisiyah. Siapa saudagar- saudagar yang harus dilahirkan dari rahim Aisiyah, siapa kader- kader Aisiyah yang berintegritas dan siap mengisi mesin-mesin birokrasi, berapa petani yang jadi binaan, berapa peternak hewan yang tercerahkan lewat dakwah Aisiyah, berapa pedagang pasar yang menjadi bagian dari penggerak Aisiyah dan seterusnya.

Hal ini begitu penting, mengingat ruang-ruang itu belum banyak diisi oleh orang-orang yang visinya sama dengan Aisiyah. Kalau urusan pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, mengelola majelis ilmu, menyelenggarakan wisata dakwah, sudah tidak perlu diragukan lagi. Hanya cukup dengan kedipan mata semua akan berjalan dengan lancar.

Baca Juga:  MUHAMMADIYAH PASCA TAMBANG (Bagian Pertama)

Bagi Aisiyah, semua itu tidak mustahil, modalnya cukup, konsep gerakannya mendukung, militansinya tidak perlu diragukan, populasi anggotanya dapat diandalkan, jejak sejarahnya terekam. Hanya butuh sentuhan yang lebih kekinian agar lebih banyak lagi kader Aisiyah berdiaspora pada ruang-ruang yang selama ini belum tersentuh. Semua mimpi besar itu dapat dibicarakan dengan santai sambil ‘guyon-guyon’ di taman-taman syurga Aisiyah. Syukur-syukur diawali dari ziarah ke Makam Nyai Walidah biar dapat wangsit yang mencerahkan untuk menggerakkan Aisiyah lebih hebat ke depan…

Rumah Sanggrahan, Kamis, 24 April 2025 pukul 05.00 WIB.

Tulisan ini oleh-oleh dari Kajian Halal bi Halal PDA Temanggung

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *