Oleh: Hanang Sarwono, SP.
Fordem.id – Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik yang kondisi demografi dan sosial politiknya sangat rentan konflik dan desintegrasi.
Betapa tidak, secara geografis, bangsa Indonesia terdiri atas ribuan suku bangsa, lebih dari 600 bahasa. Walaupun mayoritas penduduk adalah pemeluk agama Islam, namun ada 5 agama besar yang eksis dianut secara heterogen oleh penduduk Indonesia.
Sementara dari sisi geografis, negera ini berdiri di atas ribuan kepulauan – lebih dari 17 ribu pulau dari Sabang sampai Merauke – yang notabene sudah akan memberikan tantangan tersediri bagi interaksi sosial dan komunikasi antar penduduknya.
Sejarah konflik dan disintegrasi di negeri ini cukup panjang, tidak jauh berbeda dengan hampir semua bangsa-bangsa di dunia.
Sebelum era nasionalisasi modern, negeri ini adalah sekumpulan dari kerajaan2 besar maupun negeri2 kecil dari seluruh pelosok nusantara, dari periode ke periode.
Keberadaan kerajaan-kerajaan itu juga timbul tenggelam, yang tenggelamnya ada yang karena konflik dengan kerajaan lain, ada yang karena konflik internal, bahkan juga ekspansi dari bangsa lain.
Bahkan mulai abad 16 ada ekspansi dari bangsa Eropa (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris) yang selama lebih dari 3 abad memicu konflik besar di nusantara, konflik panjang yang berdarah-darah dengan kerajaan-kerajaan di pelosok Nusantara.
Namun tidak bisa dipungkiri, kehadiran bangsa Eropa – Belanda Inggris dan Portugis, selain sebagai penjajah yang mengeruk kekayaan SDA negeri, namun ada juga jasanya meninggalkan warisan ilmu pengetahuan khususnya tentang kenegaraan modern dan sistem pemerintahan.
Dan hikmah terbesar dari penjajahan yang sama, adalah rasa senasib sepenanggungan (sama-sama dijajah oleh bangsa Eropa/Belanda) yang menyatukan tujuan yang satu, komunikasi intensif antar tokoh pemuda dari penjuru Nusantara.
Sehingga singkat cerita timbullah Sumpah Pemuda yang menginisiasi Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945. Mulailah masa itu dalam era negara modern, yakni negara demokrasi yakni kedaulatan ada di tangan rakyat, yang mana ada mekanisme suksesi – peralihan dan perebutan kekuasaan tanpa perlu pertumpahan darah.
Perkembangan demokrasi di era modern Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimulai dari pasca kemerdekaan yang mana kita menganut sistem demokrasi parlementer (1945-1959).
Demokrasi ini merupakan demokrasi yang menempatkan parlemen sebagai bagian fundamental di pemerintahan. Partai sangat mendominasi kehidupan sosial politik.
Bahkan pemilu pertama 1955, diikuti oleh lebih dari 30 partai politik dan kumpulan calon perseorangan. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menelurkan sistem demokrasi baru, demokrasi terpimpin.
Ciri paling menonjolnya adalah segala kebijakan dan keputusan berpusat pada pemimpin pemerintahan yakni Presiden.
Pada masa ini juga terjadi penyimpangan Pancasila dan UUD 1945 seperti pembentukan Nasionalis Agama dan Komunis, penetapan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan pembubaran DPR hasil pemilu oleh presiden dan penyimpangan lainnya.
Berbagai penyimpangan maupun dominasi kebijakan di presiden itu lama kelamaan menimbulkan konflik elit politik maupun di tataran akar rumput.
Singkat cerita pasca peristiwa G30 S/PKI terjadi revolusi berdarah-darah dan pergantian rezim ke tampuk kuasa melalui Super Semar 1966. Era Orde baru dalam kepemimpinan Soeharto ini, dikenal dengan era demokrasi Pancasila, karena menjadikan Pancasila sebagai landasan demokrasi.
Satu prestasi dari era ini adalah stabilitas nasional, namun karena kekuasaan yang terlalu lama (32 tahun), rezim ini juga “terjerumus” berbagai penyimpangan mulai dari penyelenggaraan pemilu yang tidak jujur dan adil, kurang nya jaminan kebebasan berpendapat, maupun maraknya praktik kolusi korupsi dan nepotisme.
Rezim ini berakhir dengan tragis karena digulingkan oleh people power, dan demo besar-besaran di seluruh penjuru negeri, yang menginginkan pergantian kepemimpinan nasional.
Dengan berakhirnya orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun, maka era demokrasi berganti menjadi era reformasi yang mengembalikan demokrasi ke prinsip2 dasar yakni : adanya pemilu secara langsung, kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan, lebih terjaminnya hak-hak dasar warga negara dan rekuritmen politik yang inklusif.
Dari sejarah yang terbentang mulai zaman kerajaan di nusantara hingga era reformasi belakangan ini, dapat ditarik suatu asumsi bahwa bangsa ini -bahkan setiap bangsa- di perjalannya pasti mengalami konflik antar kelompok, antar kekuatan, terutama dalam konteks ini adalah antara pihak yang mempertahankan kekuasaan dengan pihak yang ingin merebut kekuasaan.
Pada era pra sejarah maupun sebelum pra modern, konflik itu akan terwujud menjadi peperangan, namun pada era modern lebih cenderung pada terwujud menjadi revolusi, people power, ataupun melalui “peperangan tanpa senjata” di media sosial.
Konflik yang terjadi pada sebuah bangsa, terlebih pada ranah kekuasaan, pada dasarnya adalah wajar dan biasa terjadi.
Hal itu terjadi karena perbedaan pengetahuan dan keyakinan, adat istiadat & kebudayaan maupun perbedaan kepentingan.
Apalagi pada bangsa Indonesia yang memang begitu beragam dan kompleks. Sebegitu kompleks nya permasalahan dan keragaman bangsa ini, sehingga wajar sekali jika terbentuk berbagai friksi maupun kelompok / golongan.
Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan meningkatnya kecerdasan bangsa, maka kompleksitas konflik itu bisa diakomodir dan dilembagakan sedemikian rupa dalam suatu sistem sehingga tercipta suksesi kepemimpinan nasional yang elegan tanpa menimbulkan pertumpahan darah dan disintegrasi bangsa. Salah satu sistem yang sudah teruji di berbagai negara era modern adalah pemilu.
Menurut UU No 7 Tahun 2017, Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Jadi ada aturan yang mengatur tentang pemilu baik secara filosofis, prinsipil hingga ke ranah teknis, yang hierarkis dari UUD 1945, UU, PKPU sampai Keputusan KPU. Aturan2 tersebut secara dinamis dibangun dari partisipasi masyarakat melalui berbagai elemen.
Semakin tinggi partisipasi masyarakat terlibat baik dari hulu berupa penggodogan aturan kepemiluan sampai dengan hilirnya adalah partisipasi pemilihan, maka semakin tinggi pula legalitas hasil pemilu yang dalam hal ini adalah tercipta suksesi kepemimpinan yang elegan, aman terkendali tanpa ekses.
Merujuk dari proses dan tujuan melembagakan konflik itu, maka bisa dilihat betapa pentingnya Pemilu untuk menciptakan integrasi bangsa ini, bangsa yang sangat berpotensi terpecahbelah.
Namun demikian, tidak mudah untuk menciptakan sistem maupun kelembagaan yang sempurna sedemikian rupa sehingga mampu mengakomodir serta menyelesaikan konflik yang sedemikian kompleks.
Diperlukan perangkat-perangkat yang akurat baik secara filosofis, dan prinsipil, dan secara teknis bisa menterjemahkan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, jujur, rahasia dan adil, sehingga bisa “memuaskan” peserta pemilu, atau dalam konteks ini memuaskan semua komponen bangsa, sehingga tercipta integrasi bangsa.
Untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat dari berbagai elemen dan juga kesadaran setinggi-tingginya dari para peserta pemilu, pemilih maupun penyelenggara bahwasanya kepentingan bangsa dan negara adalah di atas kepentingan pribadi atau golongan, dan jika sudah terbentuk konsensus / kesepakatan hasil pemilu, maka selesai pula konflik yang ada untuk ditaati bersama. Sehingga chemistry itu akan menghasilkan integrasi bangsa sebagai tujuan akhir dari Pemilu ini.