Oleh: Gus Zuhron – Dosen Unimma
Fordem.id – Setiap musim pemilu tiba selalu ada dinamika yang melekat di dalamnya. Apalagi ketika muncul diantara para calon pemimpin itu orang yang berbeda keyakinan. Biasanya berseliweran beragam fatwa, dalil dan argumentasi yang berujung pada kesimpulan pengharaman memilih pemimpin yang tidak se-agama. Mereka yang mendukung fatwa haram memilih pemimpin non Muslim meyakini sepenuh hati bahwa tidak ada argumentasi lain yang bisa mematahkan hujahnya.
Fatwa semacam itu menjadi lengkap ketika diiringi aksi demonstrasi besar- besaran dengan mengatasnamakan pengawalan terhadap fatwa ulama. Kasus Ahok di DKI Jakarta adalah bukti kongkrit untuk menggambarkan situasi yang cukup aktual. Belum hilang dalam ingatan kita, puisi Neno Warisman pada musim pemilu 2019 yang mengkhawatirkan agama ini akan hilang dari bumi Indonesia kalau yang terpilih bukan Prabowo. Karena pada saat itu Prabowo dianggap sebagai representasi umat Islam. Tentu lain cerita pada kontek pemilu 2024 yang menempatkan Prabowo bukan lagi sosok Ratu Adil yang perlu dibela.
Secara historis, perdebatan mengenai boleh dan tidaknya memilih pemimpin non muslim sudah lama terjadi di kalangan para ulama. Perkara ini bukan barang baru yang hadir belakangan. Pendapat para ulama yang berbeda itu punya sisi argumentasi yang sama-sama kuat. Latar belakang sosio historis dan politik tampaknya cukup mempengaruhi bagaimana sebuah fatwa itu lahir. Artinya, fatwa itu tidak pernah hadir dari ruang hampa. Situasi dan sudut pandang yang berbeda, melahirkan fatwa yang berbeda pula.
Kebanyakan ulama yang mengeluarkan fatwa haram biasanya diikat dalam empat situasi.
Pertama, mereka hidup di negara mayoritas berpenduduk Muslim dengan masyarakat homogen.
Kedua, sistem politik mendukung untuk terpilihnya pemimpin Muslim, karena syari’at menjadi dasar dalam bernegara.
Ketiga, orang-orang Muslim cukup mempunyai kualifikasi yang memadai untuk dipilih sebagai pemimpin.
Keempat, situasi perang dan penjajahan. Adanya pertentangan dan perseteruan antara komunitas Muslim dengan non Muslim. Kondisi ini didukung dengan dalil-dalil yang cukup meyakinkan sehingga lahirlah fatwa semacam itu.
Situasi berbeda akan melahirkan produk hukum (fikih) yang berbeda. Pemahaman terhadap dalil juga mempengaruhi bagaimana pendapat hukum itu dapat terbentuk. Imam Al Mawardi adalah salah satu ulama yang membolehkan memilih pemimpin non Muslim.
Dalam kitab Al-Ahkam Assulthoniyah ada rincian yang cukup menarik untuk disimak. Al-Mawardi membagi kekuasaan setidaknya dalam dua bentuk: tafwidh dan tanfidz.
Tafwidh memiliki ruang lingkup kerja penanganan hukum, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Dalam bahasa yang lebih sederhana adalah wilayah kerja Yudikatif dan Legislatif. Pada wilayah ini, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka.
Sementara kekuasaan eksekutif (tanfidz) adalah mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Al Mawardi tidak mensyaratkan harus beragama Islam, tidak harus mendalam dalam perkara agama, dan merdeka.
Al-Mawardi tidak sendirian, ada Ibnu Taimiyah yang juga berpendapat bahwa boleh saja memilih pemimpin non Muslim asal dapat menghadirkan keadilan. Di Indonesia ada Quraish Shihab yang mempunyai pendapat senada. Asal pemimpin non muslim dapat menghadirkan keadilan dan kemaslahatan, sejatinya tidak mengapa untuk dipilih.
Dalam konteks Indonesia, Pemilihan Presiden (Pilpres), Gubernur (Pilgub), Bupati (Pilbup), Walikota (Pilwakot), Kepala Desa (Pilkades), Ketua RW/RT adalah wilayah Eksekutif (Tanfidz). Indonesia juga bukan negara yang menerapkan hukum agama tertentu sebagai kebijakan dalam bernegara.
Penyelenggara negara diikat dengan beragam peraturan perundang-undangan, diawasi oleh legislatif dan diadili oleh yudikatif apabila melakukan “abuse of power”. Belum lagi kekuatan civil society seperti Muhammadiyah yang mampu melakukan pressure group apabila negara melenceng dari koridornya. Artinya menjadi pemimpin negara ini tidak bisa berlaku seenaknya untuk melampiaskan ambisi kekufurannya. Apapun agama yang menempel pada pemimpin itu akan menghadapi situasi yang sama.
Maka tidak perlu berbusa-busa dan panik dalam menghadapi kontestasi. Menempatkan keyakinan dan sekeyakinan sebagai fondasi untuk memilih itu baik. Tapi memilih mereka yang mampu menghadirkan keadilan rasanya lebih elegan, meskipun bisa jadi sosok itu belum tentu sama jubah agamanya.
Sebagaimana sabda Nabi saw :
“Satu hari seorang pemimpin yang adil lebih utama dibandingkan beribadah selama 60 tahun. Satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan yang turun selama 40 hari”
(HR Ath-Thabrani, Bukhari, Muslim dan Imam Ishaq).