Oleh: Gus Zuhron – (Sekretaris MPKSDI PWM Jawa Tengah)
Fordem.id – Ada yang unik dari acara ngobrol bareng Walikota. Sebelum orang nomor satu di Kota Magelang datang, lebih dulu ibu negara tampil menyapa para peserta. Bu Walikota hadir sebagai bintang pembuka pada acara itu. Dengan pembawaan yang akrab dan penuh canda beliau menyapa para peserta. Ratusan peserta menyambut antusias gaya merakyat, santai dan penuh kekeluargaan. Apalagi performa itu disempurnakan dengan bagi-bagi doorprize untuk peserta.
Yang menarik, syarat untuk mendapatkan doorprize adalah harus mampu menjawab pertanyaan. Semua pertanyaan yang diajukan adalah pengetahuan dasar mengenai Muhammadiyah dan Aisiyah. Tetapi tampak sebagian besar peserta cukup kebingungan dan kewalahan. Padahal yang ditanyakan hanyalah seputar kelahiran, ulang tahun dan siapa pencipta lagu Sang Surya. Saya yakin, di antara para peserta yang hadir sudah puluhan tahun menjadi bagian dari persyarikatan Muhammadiyah.
Dari sini, tampak ada sesutu yang hilang dalam memori warga persyarikatan. Pengetahuan tentang organisasi, sejarah dan ideologi seperti sesuatu yang terlewatkan. Hal ini terjadi karena kajian-kajian Muhammadiyah didominasi tema-tema fiqih, mu’amalat dan akhlak. Jarang ada forum yang membedah mengenai wawasan di luar tema mainstream itu.
Kajian mengenai sejarah, ideologi dan organisasi hakikatnya akan melahirkan pemahaman yang utuh tentang Muhammadiyah, menguatkan militansi dan komitmen dalam menggerakkan persyarikatan. Sehingga tidak ada lagi ungkapan yang mengatakan “saya orangnya netral, tidak NU tidak pula Muhammadiyah, pokoknya islam itu ya Islam, karena pada zaman nabi tidak ada organisasi semacam itu”. Ungkapan ini sepitas benar, namun ada kesalahan logika yang begitu fatal.
Beberapa argumen berikut dapat meruntuhkan logika yang selama ini berkembang di sebagian orang yang mendewakan netralitas.
Pertama, Al-Qur’an memberikan perintah untuk berorganisasi sebagai media dakwah dan menyempurnakan cara kita beragama. Surat Ali Imron ayat 104 dan As Shaft ayat 4 adalah dalil yang sangat kuat mengapa berorganisasi itu penting. Hadits nabi yang memerintahkan ummat untuk bersatu dalam kelompok kebenaran bertebaran dalam kitab-kitab hadits. Dalam makna kontemporer berkelompok itu adalah berorganisasi.
Kedua, situasi hari ini tidak memungkinkan menyampaikan dakwah hanya menggantungkan pada sosok figur tertentu. Kharisma figur sudah bergeser menjadi mesin organisasi. Persoalan yang dihadapi sudah semakin komplek dan membutuhkan jalan keluar yang hanya bisa diselesaikan bersama. Satu contoh, sehebat apapun Ustadz Adi Hidayat dia tidak bisa melakukan operasi jantung, tidak mungkin memimpin MDMC, tidak pula jadi komandan Kokam, tidak bidangnya untuk menyelesaikan IT, apalagi ngurusi tambang. Namun semua persoalan itu diselesaikan Muhammadiyah lewat mesin organisasi.
Ketiga, pada zaman Rasulullah semua persoalan diselesaikan nabi dengan segala otoritasnya. Nabi dibimbing langsung oleh wahyu yang sewaktu-waktu turun ketika ada persoalan yang dihadapi dan itu di luar jangkauan pengetahuan nabi. Hari ini pemegang otoritas absolut itu sudah tidak ada. Maka yang dibutuhkan adalah kekuatan kolektif untuk menjawab beragam problematika zaman. Kekuatan kolektif itu bernama organisasi.
Keempat, menjadi Muhammadiyah pada hakikatnya bukan sekedar fanatik pada organisasinya, tetapi komitmen pada tujuan akhir dari perjuangan yang dicita-citakan. Tujuan itu adalah “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Muhammadiyah memang bukan agama, tetapi alat untuk mencapai tujuan mulia yakni menegakkan agama.
Maka menjadi penting memahami Muhammadiyah dari berbagai sudut pandang. Karena persyarikatan ini telah tumbuh dalam ruang sejarah panjang, berkembang dengan kekayaan amal usaha dan pergulatan khasanah keilmuan yang luar biasa. Oleh karenanya, mempelajari pemikiran resmi Muhammadiyah menjadi agenda yang tidak boleh ditunda. Pengetahuan itu dapat diperoleh melalui forum kajian, dialog ideopolitor, Baitul Arqom atau otodidak dengan melek literasi Muhammadiyah. Semua khasanah itu dipelajari untuk melahirkan militansi, bukan sekedar ingin mendapatkan doorprize dari Bu Wali….