Oleh: Gus Zuhron – (Dosen Universitas Muhammadiyah Magelang)
Dalam tradisi masyarakat Jawa, ada lagu yang sangat viral dan melekat dalam ingatan. Diantara penggalan syairnya berbunyi:
“Eh dayohe teko
Eh gelarno kloso
Eh klosone bedah
Eh tambalno jadah
Eh jadahe mambu
Eh pakakno asu
Eh asune mati
Eh kelekno kali”
Ee…tamunya datang
Ee…tikarnya digelar
Ee…tikarnya robek
Ee…ditambal jadah
Ee…jadahnya basi
Ee…berikan (makankan) anjing
Ee…anjingnya mati
Ee…larung (buang) ke sungai
Lagu ini adalah gambaran dari sebuah filosofi mendalam tentang kesalahan menghadapi masalah. Dayoh atau tamu diibaratkan sebagai masalah yang datang. Bait-bait dalam lagu itu menunjukkan ketidaksingkronan antara masalah yang dihadapi dengan solusi yang ditawarkan.
‘Kloso bedah’ kok ditambal jadah, jelas sesuatu yang tidak nyambung. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru jalan keluar yang ditawarkan menambah beban masalah itu semakin berat.
Imam Al-Ghazali pernah mendiskripsikan tentang beberapa tipe manusia. Diantara tipe itu digambarkan dengan kalimat “Rajulun la yadri wala yadri annahu la yadri” (orang yang tidak tahu dan tidak tahu, kalau dirinya tidak tahu).
Dalam bahasa sederhana adalah jenis manusia bodoh tetapi tidak memahami kalau dirinya bodoh. Ini jenis manusia paling berbahaya. Sebab, dengan kebodohannya itu akan terus bertindak bodoh, menyebarkan virus kebodohan, mengambil langkah bodoh, membuat keputusan bodoh dan tetap tidak merasa kalau dirinya bodoh.
Imam Az-Dzahabi memberikan untaian nasihat yang menghujam hati :
“Kesombongan yang paling buruk adalah seseorang yang sombong dihadapan manusia dengan keilmuannya, merasa hebat di dalam dirinya dengan keutamaan yang dimiliki, maka sungguh ilmunya itu tidaklah bermanfaat bagi dirinya”.
Dianugerahi segudang ilmu namun tidak mampu menjadikan dirinya tawadhu dan bijaksana. Ini adalah bentuk lain dari kebodohan.
Saat musim kontestasi tiba, banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi Pemimpin. Rela merogoh Milyaran untuk suap sana-sini. Memperdaya rakyat jelata yang terpaksa menggadaikan nuraninya dengan sejumlah Rupiah karena didera kemiskinan berkepanjangan. Tidak peduli apakah Calon yang dipilihnya bodoh atau cukup kompetensinya. Asal Rupiah mengalir soal pilihan bisa digilir. Alhasil yang kerap tampil menjadi pemenang adalah orang-orang bodoh yang percaya diri.
Bagaimana dengan kontek pemilihan di kampus ?
Saya yakin kampus adalah kumpulan para cendekiawan, gudang manusia penuh kebijaksanaan, bersemayamnya para penyangga moral dan intelektual. Dengan semua kelebihan itu, kontestasi semestinya berjalan dengan penuh kegembiraan dan kearifan. Tidak ada nada sumbang atau pikiran untuk menciderai mereka yang perspektifnya tidak seirama. Siapapun pemimpin masa depan harus dikawal sepenuh hati.
Jangan sampai setelah terpilih, kebijakan pertama yang diambil adalah “nambal kloso bedah” dengan “jadah”. Opo maneh (apalagi) jadahe mambu. Kalau itu terjadi, aku ra melu-melu (saya tidak ikut-ikutan)
Selasa, 6 Agustus 2024