Oleh: Hanan Wiyoko, anggota KPU Kab. Banyumas
Fordem.id – ERA digital saat ini, siapapun dapat membangun citra diri (personal branding) melalui media sosial. Sehingga cukup mahfum, bila politisi pun aktif bermedsos.
Terlebih menjelang Pemilu 2024, unggahan terkait politisi di medsos, entah itu bacapres maupun bacaleg santer berseliweran.
Banyak tokoh nasional yang dengan mudah kita lihat sepak terjangnya di Instagram, Tiktok, Twitter, Facebook maupun aplikasi lain.
Berkaitan dengan fenomena politisi bermedsos, saya ada pengalaman menarik. Ceritanya saat mengisi sebuah acara diskusi politik yang diadakan Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas belum lalu ini, saya ditanya seorang peserta.
“Pak, apakah calon pemimpin atau wakil rakyat yang terkenal di media sosial menjadi ukuran untuk layak dipilih dalam Pemilu mendatang?”
Saya tidak menyangka mendapat pertanyaan semacam itu. Mengingat topik diskusi seputar ajakan mewaspadai politik transaksional.
Menurut saya, pertanyaan tadi kritis. Dilontarkan oleh seorang pemuda yang duduk di barisan kursi belakang.
Saya mengapresiasi pertanyaan tersebut. Pertanyaan tersebut sangat relevan dengan situasi saat ini : media sosial digunakan sebagai panggung pencitraan atau kampanye diri.
“Tidak semua konten di internet benar. Harus cermat dalam menelaan informasi di internet,” jawab saya sebagai pembuka.
Saya mencoba menjawab dengan bijaksana. Bahwa, semua orang bisa memanfaatkan media sosial untuk bermacam tujuan.
Bagi seorang politisi, media sosial bisa dijadikan sebagai sarana efektif untuk menjangkau para pemilih, khususnya para pemilih di kelompok milenial dan generasi Z (kelahiran 1996-2007).
Saat ini di medsos berseliweran beragam informasi menyangkut aktivitas politisi (bisa bacapres maupun bacaleg) yang diunggah.
Bisa dilakukan oleh tim pemenangan dengan nada positif untuk membentuk citra baik calon. Atau bisa jadi diunggah oleh tim lawan dengan konten yang menyudutkan hingga menjelekkan.
“Kenali rekam jejak calon yang akan dicoblos. Caranya, gunakan ponsel untuk mencari informasi dari sumber yang terpercaya,” jawab saya.
Saya menambahkan, belum tentu unggahan yang di-upload tim sukses politisi tersebut menggambarkan kondisi sesungguhnya.
Karena bisa jadi, dilakukan pembentukan citra (personal branding) agar bisa diterima oleh netizen atau publik.
Dengan adanya medsos yang berisikan unggahan foto atau video bacapres dan bacaleg memang dirasakan memberikan informasi yang cepat bagi publik.
Selain itu, adanya kolom komentar yang menyertai unggahan memudahkan terjadi interaksi, sehingga terbangun rasa kedekatan. Hal ini tidak didapatkan oleh politisi yang enggah memanfaatkan medsos untuk kampanye diri.
“Jangan terjebak pada tampilan seseorang di medsos. Karena dalam postingan medsos telah dilakukan seleksi foto dan video yang disesuaikan dengan pesan yang ingin ditampilkan,” pesan saya.
Tak lama kemudian, penanya lain mengacungkan jari. Kurang lebih pertanyaan hampir sama. “Pak, apakah followers medsos politisi bisa menjadi ukuran kalau orang tersebut memang baik dan layak dipilih,?” kata seorang pemuda yang duduk tidak jauh dari penanya pertama.
Menurut saya, ini juga pertanyaan yang kritis dan unik. Jelas saya jawab : tidak menjadi ukuran. Karena yang menjadi ukuran seseorang memenangkan sebuah pemilihan adalah suara terbanyak.
Kemudian saya lanjutkan, banyak sedikitnya pengikut di medsos (followers) merupakan ukuran di media sosial semata.
Bisa jadi memang orang tersebut aktif menghasilkan unggahan yang menarik dan rajin posting.
Di akhir jawaban, saya mengingatakan dua orang penanya tadi dan juga peserta diskusi serta pembaca Kompasiana disini, agar cermat dalam memilih pemimpin. Caranya bagaimana? Ya dengan mengenali rekam jejak calon tersebut.
Bisa dilakukan dengan memilih karena kesamaan ideologi. Lalu, karena tertarik program yang akan dikerjakan nantinya. Bahasa lainnya adalah visi dan misi yang ditawarkan.
Lalu, bisa jadi memilih karena kesamaan tujuan yang dicapai seandainya politisi tersebut menjawab.
Dengan adanya medsos, menurut saya ini memudahkan calon pemilih mengenali calon pemimpin dan wakil rakyatnya. Hanya saja perlu hati-hati, agar selalu cek dan ricek. (*)