Oleh: Lukman Hakim
“Silaturahmi is the bridge that connects hearts, strengthens the bonds of brotherhood, and ignites new hope in every gathering”.
(Silaturahmi adalah jembatan yang menghubungkan hati, menguatkan ikatan persaudaraan dan menyalakan harapan baru dalam setiap pertemuan).
Halal bi halal adalah cermin kebijaksanaan dan kehangatan yang tumbuh dari keresahan zaman, dari perasaan ingin menyatukan perbedaan yang ada.
Berawal dari keresahan Bung Karno karena adanya friksi atau kerenggangan hubungan antara elit politik, beliau mendambakan persatuan.
Di tengah saran untuk mengadakan pertemuan karena kurang bersatunya para elit politik negeri ini, Bung Karno menolak istilah silaturahmi sebagai nomenklatur pertemuan tersebut karena dianggap sudah terlalu umum dan mainstream.
Di sinilah, Kyai Wahab Hasbalah dengan bijak memperkenalkan terminologi yang berbeda, yakni “halal bi halal”.
Pada tahun 1948, momentum ini diambil sebagai upaya menyatukan kembali kerenggangan antar elit politik, menumbuhkan harapan baru akan persatuan di tengah perbedaan.
Namun, sejarah mencatat bahwa kisah halal bi halal mungkin telah dimulai lebih awal. Ada arsip asli, seperti yang termuat dalam terbitan majalah Suara Muhammadiyah pada tahun 1926, yang menunjukkan undangan untuk acara halal bi halal bagi para tokoh Muhammadiyah.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan dan siapa yang pertama kali memprakarsai tradisi ini, yang tidak dapat disangkal adalah manfaat besar yang dihadirkan oleh momentum halal bi halal.
Manfaat besar tersebut lebih terasa lagi di daerah perkotaan. Di tengah kesibukan hidup perkotaan, dimana waktu untuk bertemu dan bersilaturahmi kian sulit tersusun, kesempatan untuk berkunjung dari rumah ke rumah seperti yang terjadi di pedesaan, halal bi halal menjadi momen sakral.
Ia membuka ruang bagi tetangga, saudara, dan sahabat untuk saling berjumpa, menyapa, mengobrol dan yang terpenting, saling bermaaf-maafan.
Tradisi ini mengajarkan bahwa dalam duniawi, selama tidak menabrak aturan syar’i dan tradisi itu membawa kemaslahatan, setiap bentuk interaksi sosial merupakan ladang kebaikan. Sebagaimana sabda Nabi yang mengingatkan bahwa أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ “kamu lebih tahu urusan keduniaan kamu”.
Lebih menarik lagi, tradisi halal bi halal adalah local wisdom yang hanya kita temui di Nusantara, sebuah bukti kecerdasan dan kebijaksanaan umat Muslim Indonesia dalam merajut persatuan. Di balik setiap pertemuan yang hangat, terdapat semangat untuk mengikis segala salah dan khilaf, menyatukan hati dalam keikhlasan serta harapan untuk masa depan yang lebih damai.
Maka, sambil menantikan saat-saat kita berkumpul dalam momentum halal bi halal yang akan diselenggarakan, izinkan saya menyampaikan perasaan saya untuk meminta maaf atas salah dan khilaf yang pernah terjadi, baik disengaja maupun tidak disengaja. Semoga kita senantiasa diberkahi dengan kebersamaan dan kehangatan hati dalam setiap pertemuan.
Idul Fitri, 31 Maret 2025
*) Red. Fordem.id