Wahyudi Nasution
Setelah genap satu minggu Narjo tidak menampakkan batang hidungnya, dan tugas mengantar koran digantikan Azis anak bungsunya, pagi ini “mak bedunduk” (tiba-tiba) dia datang dengan wajahnya yang “plengah- plengeh” alias full-smile.
Sebenarnya reputasi loper koran satu ini luar biasa, nyaris tanpa cacat, sangat setia dengan profesi yang telah dijalaninya selama hampir 40 tahun. Pak Bei ingat betul, dulu Narjo mengawali profesinya ketika masih muda, dari naik “pit wedok” (sepeda jengki) glodhek-glodhek, lalu bisa beli Honda Supercup dan gonta-ganti Astrea serta beranak 3. Bahkan kini cucunya sudah 2. Narjo yang senyumnya plengah-plengeh itu tak pernah ingkar janji. Tiap pagi bakda shubuh berangkat ke agen koran dan majalah di kota Klaten, lalu menyusuri jalanan kampung mencari alamat rumah pelanggan satu-satu di wilayah kecamatan Ngawen, Jatinom, Karanganom, Polanharjo, dan Tulung.
Menjelang dhuhur sudah sampai di rumah, lalu mandi dan ke masjid di dekat rumah untuk adzan dhuhur. Begitulah, Narjo bekerja tak peduli cuaca. Kekurangannya mungkin karena tidak membuat perencanaan yang baik terkait usahanya.
“Hidup ini mengalir saja, Pak Bei,” kata Narjo suatu pagi. “Rejeki sudah ada yang mengatur. Jatah rejeki sudah ditentukan sejak kita belum lahir ke dunia. Jadi gak usah “ngoyo” (terlalu) dan gak usah “meri” (iri) dengan rejeki tetangga,” lanjut Narjo seakan memberi tausiah pagi.
“Tapi manusia kan wajib ikhtiar to, Kang. Ya memang jatah rejeki itu rahasia Tuhan, tapi manusia wajib ikhtiar maksimal, kerja keras, kerja cerdas. Itu bentuk rasa syukur kita telah dianugerahi hidup,” Pak Bei mencoba menyanggah. “Mbok ya belajar pada Pak Harto, Kang.”
“Walah lha kok Orde Baru. Itu kan rejim yang sudah kita tumbangkan melalui reformasi 1998. Itu masa lalu, Pak Bei.”
“Kang, Orde Baru jangan hanya dilihat dari sisi kekurangan saja. Cobalah lihat juga dengan objektif keberhasilannya. Itu baru adil.”
Kedua sahabat itu pun asyik mengenang masa-masa kecil hingga sekolah dan dewasa. Mereka masih ingat betul betapa dulu Pemerintah Orde Baru yang dipimpin Pak Harto relatif berhasil membangun Indonesia. Dengan visi Pembangunan Manusia Seutuhnya, Pak Harto membuat perencanaan Pembangunan jangka pendek per 5 tahun dan jangka panjang per 25 tahun melalui Repelita 1-5.
Repelita 1-3 dititikberatkan pada pembangunan sektor pangan, infrastruktur pertanian dan peningkatan kapasitas produksi pertanian. Disamping itu, sekolah-sekolah SD Inpres dibangun di pelosok-pelosok Desa, SMP Negeri dibangun di ibukota Kecamatan. SMA, SMEA, SPG, PGA, dan SGO dibangun di kota Kabupaten. Kampus-kampus negeri juga dibangun dan biaya kuliah pun sangat murah.
Rakyat yang tidak punya lahan bertani atau lahan pertaniannya tergusur oleh Pembangunan, diikutkan program Transmigrasi. Ternyata banyak transmigran yang sukses bertani dan berkebun di Sumatra dan Kalimantan. Bila pada awal tahun 70-an di Indonesia masih terjadi krisis pangan, mulai awal 80-an sudah bisa swasembada pangan. Cita-cita “gemah ripah loh jinawi” relatif terwujud. Harga pangan murah, BBM murah, sekolah murah. Bea siswa Supersemar disediakan bagi pelajar dan mahasiswa dari keluarga kurang mampu namun pintar.
“Iya ya, Pak Bei. Padahal dulu dipimpin Pak Harto, negara kita hampir tinggal landas menjadi negara maju. Tapi beliau malah kita jatuhkan ramai-ramai melalui reformasi,” kata Narjo nyeruput teh “nasgithel” (panas, legi/manis, kenthel/kental) yang disuguhkan Bu Bei dari tadi.
“Sekarang bagaimana, Kang?”
“Wolak-waliking jaman, Pak Bei. Maunya reformasi, eh kalah ‘repotnasi’ jadinya. Semua pejabat hanya mikir numpuk kekayaan untuk dirinya sendiri. Gak ada yang mikir rakyat. Salah kiblat.”
“Kok salah kiblat?”
“Lha iya. Orang berebut jadi Presiden, DPR, DPRD, Gubernur, Bupati atau Walikota hingga Dirjen, Direktur, Kasi, dan sebagainya, itu semua demi menumpuk kekayaan untuk diri dan keluarganya. Semua cara dilakukan. Merampok dan korupsi berjamaah pun dianggap lumrah. Tampaknya gak ada lagi yang berniat ibadah demi kemakmuran dan kesejahteraan bersama.”
“Ngono yo, Kang.”
“Semua aji mumpung.”
“Aji mumpung bagaimana?”
“Mumpung bapaknya masih berkuasa, maka anak-anak dan menantunya atau ponakannya dicarikan jabatan yang bagus. Semua daya dikerahkan untuk melanggengkan kemuliaan keluarganya.”
“Itu juga namanya regenerasi, Kang?”
“Ya jelas bukan, Pak Bei. Regenerasi pada pengelolaan negara mestinya berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan berdasarkan anak keturunan yang sedang berkuasa, bukan berdasarkan banyaknya duit dari para botoh atau sponsor. Kalau pengelolaan usahanya sendiri, silakan saja dilakukan regenerasi ke anak-cucunya.”
“Nah ini. Kang Narjo sendiri harus menyadari telah gagal regenerasi di usaha loper koran.”
“Loh aku kan sedang melatih anakku sekarang.”
“Telat banget itu, Kang. Harusnya anakmu sudah diajak terjun sejak orang masih mau baca koran. Lha sekarang sudah jamannya orang baca berita online kok baru regenerasi. Kasihan anakmu, Kang.”
“Iya ya, Pak Bei.”
“Kang, kebanyakan masyarakat kita memang tidak “nggagas” (berpikir) pentingnya regenerasi. Tentu Kang Narjo masih ingat, dulu pergerakan merebut kemerdekaan negeri kita dipelopori oleh kaum pedagang yang tergabung dalam Serikat Dagang Islam. Para saudagar itu yang mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga Perguruan Tinggi, dan kelak anak-anaknya yang terpelajar itulah yang berperan aktif sejak sebelum hingga setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945.”
“Iya benar, Pak Bei.”
“Sayang sekali bahwa setelah kita merdeka, saudagar-saudagar justru semakin melemah. Proses regenerasi tidak terjadi. Anak-anaknya diorientasikan menjadi pegawai, dosen, guru, karyawan, dan politisi. Tidak ada yang jadi saudagar sukses seperti dulu.”
“Iya ya, Pak Bei. Jadinya ekonomi kita dikuasai orang lain. Sangat sedikit pengusaha kita yang sukses.”
“Makanya, kenapa Kang Narjo tidak dari dulu mempersiapkan anak-anakmu menjadi jurnalis atau pengusaha penerbitan dan media? Kan keren kalau ada anak loper koran bisa sukses jadi pengusaha penerbitan dan media papan atas.”
“Wah iya, ya. Sudah terlambat. Selama ini aku tidak punya pikiran ke sana.”
“Itu yang namanya gagal regenerasi, Kang.”
“Ya sudah, besok anakku akan kusuruh nyoba pindah ke jalur politik saja. Siapa tahu bisa jadi anggota Dewan yang terhormat. Perbaikan nasib, Pak Bei.”
“Begitu juga boleh, Kang.”
“Saya pamit dulu, ya.
Terima kasih sudah dibuatkan teh nasgithel. Sudah hangat perutku.”
Narjo melanjutkan tugasnya menuju rumah-rumah pelanggan koran yang masih tersisa.
Klaten, 14/10/2023
*) Ketua LPUMKM PDM Klaten, anggota JATAM (Jamaah Tani Muhammadiyah)