Wahyudi Nasution
“Pak Bei, jamaah di masjid kami kemarin tanya, Pemilu bulan depan kita mau milih siapa? Aku belum bisa menjawab,” kata Kang Narjo setelah melemparkan koran di lantai.
“Mereka belum punya pilihan, Kang?”
“Belum, Pak Bei. Kita kan harus mencoblos 5 kartu, caleg DPR, DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Capres-Cawapres. Betul-betul repot. Sampai sekarang aku sendiri belum bisa menentukan pilihan. Masih bingung.”
Pak Bei maklum bila Kang Narjo masih kesulitan menentukan pilihan, apalagi jamaahnya. Sebagai calon pemilih, sejauh ini rakyat hanya disuguhi foto-foto caleg terpasang bertebaran di pinggir-pinggir jalan dan pojok perkampungan. Ada yang dipaku di pepohonan, dikawat di tiang listrik, ada juga yang dipasang pakai bambu. Bahkan ada yang dipajang di depan makam.
“Kita belum tahu mana caleg yang benar-benar layak dipilih jadi wakil di lembaga legislatif. Minim informasi, Pak Bei.”
“Kalau untuk Capres-Cawapres bagaimana, Kang?”
“Kalau itu lumayan. Kita bisa cari informasi kapan saja di koran dan internet, melihat Debat di TV. Yang repot untuk memilih caleg, Pak Bei.”
Mendengar kesulitan sahabatnya itu, Pak Bei jadi teringat isi khotbah Jumat yang diikutinya tempo hari di masjid rest area tol menuju Semarang. Pak Bei tiba di masjid rest area ketika azan hampir selesai dikumandangkan. Pak Bei pun tetap melakukan sholat tahiyyatul-masjid meski khotib sudah mulai menyampaikan khotbahnya.
“Jamaah yang dirahmati Allah,” khotib menyapa jamaah.
“Sebentar lagi kita akan Pemilu, tepatnya tanggal 14 Februari 2024“.
Khotib berwasiat : “Marilah kita pergunakan hak pilih kita dengan sebaik-baiknya. Pilihan kita akan menentukan masa depan negara ini, apakah akan semakin rusak-rusakan atau akan menjadi lebih baik. Maka jangan ada yang golput,” kata khotib dengan suaranya yang serak- serak basah namun cukup menggelegar itu.
“Tema khotbah yang kontekstual. Up to date,” batin Pak Bei.
“Apa inti pesan khotib, Pak Bei?,” tanya Kang Narjo.
“Kang Narjo tentu masih ingat kisah Nabi Ibrahim AS yang ditangkap dan dibakar Raja Namrud karena menghacurkan patung-patung sesembahannya.”
“Ooh iya ingat. Api yang berkobar-kobar itu menjadi terasa dingin sehingga tidak bisa membakar Nabi Ibrahim, atas rahmat dan perintah Allah SWT.”
“Betul, Kang. Tapi bukan itu pesan khotib kemarin.” kata pak Bei.
“Apa pesannya?” tanya Kang Narjo dengan mimik serius.
“Khotib mengajak jamaah mencontoh perjuangan burung emprit.”
“Maksudnya?”
“Melihat Nabi Ibrahim Khalilullah yang dizalimi dan dibakar, burung-burung emprit ramai-ramai berjuang memadamkan api yang berkobar-kobar. Mereka mengambil air dari sungai dengan paruhnya yang kecil untuk diteteskan di nyala api yang berkobar.”
“Terus, Pak Bei..”
“Disisi lain, ada gerombolan cicak yang menjulurkan lidahnya, berjuang meniup-niup nyala api agar semakin besar dan menghabisi Nabi Ibrahim”, Pak Bei melanjutkan wasiat khotib.
Melihat tingkah burung-burung emprit, cicak-cicak itu tertawa terbahak-bahak dan mengejeknya :
“Hei, kalian ini ngapain? Bodoh sekali. Mana bisa air sak uprit yang kalian teteskan itu mampu memadamkan kobaran api ini,” kata para cicak.
“Biarin saja, weeeek”, jawab burung emprit sambil terus hilir mudik mengambil air untuk memadamkan api.
“Silahkan saja kalian menganggap usaha kami sia-sia. Tapi kami yakin, Allah SWT pasti melihat betapa kami berpihak pada orang baik, pada orang yang jelas amanah dan jujur, hamba yang sangat taat perintahNya, hamba yang selalu berbelas-kasih pada sesama dan seluruh alam, hamba yang tidak pernah berbuat kerusakan di muka bumi,” jawab burung-burung emprit.
“Maknanya bagaimana itu, Pak Bei? Apa hubungannya dengan Pemilu nanti?”
“Menurut khotib kemarin, Raja Namrud dan hulu balangnya adalah simbol dari Politisi Busuk. Yaitu, politisi yang berani melakukan apapun demi mencapai ambisinya. Politisi yang tega mengambil harta rakyat dengan cara apapun. Politikus yang bermain proyek APBN/APBD, merusak lingkungan dan mengambil SDA dengan serakah. Politisi yang korupsi ramai-ramai dan kongkalingkong membuat UU dan Peraturan untuk menumpuk kekayaan dan melanggengkan kekuasan. Penguasa yang lebih memikirkan kemakmuran keluarga dan kelompoknya. Penguasa yang membayar mahal para buzzer agar menebar hoax, memfitnah dan menyerang lawan politik. Politisi yang menyebarkan permusuhan dan mencelakakan rakyat yang berbeda pendapat dengannya.”
“Kalau Nabi Ibrahim simbol apa, Pak Bei?”
“Dialah simbol politisi dan negarawan sejati. Yang selalu berpikir positif dan berjuang demi kebaikan bangsa dan negaranya. Yang selalu berupaya mewujudkan kehidupan yang penuh kasih-sayang, menjaga ketertiban umum. Yang tegas menegakkan keadilan dan menjalankan Peraturan. Yang menjaga etika sosial dan budaya masyarakat, serta menentang segala kemungkaran.”
“Jadi kita disuruh mencontoh burung emprit, Pak Bei?”
“Begitulah, Kang.”
“Tapi bagaimana cara agar kita tahu mana politisi busuk dan mana politisi sejati?”
“Kita harus berupaya mengetahui rekam jejak para Caleg dan Capres-Cawapres, Kang. Dari rekam jejak akan kelihatan kebaikan, kejujuran, kecerdasan dan keunggulannya. Akan terlihat juga apakah selama ini dia berposisi membela kepentingan rakyat atau justru menindas rakyat. Lalu, simak baik-baik pidato- pidatonya, cermati visi-misi dan rencana aksinya terhadap kondisi negara kita. Cari informasi shahih atas pelaksanaan janji-janji politiknya ketika mereka menjadi pejabat dan wakil rakyat. Resapi pula sikap, etika dan tutur bahasa terhadap sesama. Bandingkan satu-persatu dengan hati dan pikiran jernih. Dengan cara itu Insya Allah kita menemukan mana politisi dan negarawan sejati yang pantas kita dukung dan kita pilih”.
“Wah berat juga ya, Pak Bei. Tapi bagaimana kalau pilihan yang kita yakini baik itu nanti ternyata kalah di Pemilu?”
“Ya tidak masalah, Kang. Ingatlah burung emprit. Tetesan air dari paruhnya yang kecil itu memangnya bisa memadamkan api? Tidak, Kang. Tapi atas kehendak Allah SWT, kobaran api yang menyala itu jadi terasa dingin dan tidak membakar Nabi Ibrahim. Kang, sesungguhnya siapa pemenangnya nanti sudah tertulis di lauhul-mahfudz. Cuma Allah SWT menguji kita, di Pemilu nanti kita berada di pihak para Politisi Busuk atau Politisi yang Baik dan berbudi luhur.”
“Semestinya kita berpihak pada politisi yang kita yakini baik dan berbudi luhur kan, Pak Bei?”
“Tepat, Kang.
“Baiklah, Pak Bei. Jangan pilih politisi busuk. Terima kasih. Sing penting yakin.”
Obrolan pagi pun berakhir. Kang Narjo meneruskan tugasnya mengantar koran ke pelanggan yang tinggal sedikit. Loper koran yang masih setia hingga Empat Dasawarsa. Zaman sudah mulai berganti, orang-orang beralih membaca berita online, tapi Kang Narjo masih itiqomah dan bersahaja.
Klaten, 1 Januari 2024
#mpmppmuhammadiyah
#jamaahtanimuhammadiyah
#lpumkmpdmklaten
#selamattahunbaru2024
Njih, saestu sae niki. Inspiring.