Tiada Ruang Partisipasi

Opini521 Views

Wahyudi Nasution

Sepulang dari jamaah Isya’ di masjid malam itu, sebenarnya Pak Bei mau langsung istirahat. Badan terasa capek sepulang dari Solo mengikuti acara Seminar Uji Publik Raperda Kedaulatan Pangan bersama Komisi B DPRD Provinsi Jawa Tengah. Meski undangannya sangat mendadak diterima, tapi mengingat topik acaranya sangat urgent, menyangkut nasib masa depan jutaan warga Jawa Tengah, maka Pak Bei pun membatalkan acara ke Jogja.

Sebagai warga Jawa Tengah, Pak Bei melihat inisiatif Raperda Kedaulatan Pangan dari Komisi B itu bagus dan pantas didukung. Sebelum diundangkan menjadi Peraturan Daerah yang selanjutnya diikuti dengan peraturan turunannya dan mengikat seluruh warga. Proses uji publik diperlukan guna mendapatkan masukan dan koreksi dari masyarakat secara komprehensif.

Kebetulan tema Raperda itu jumbuh dengan kegelisahan para petani, pemuda desa dan pelaku usaha penggilingan padi yang sering kumpul, ngopi, ngobrol, dan curhat di nDalem Pak Bei. Meski hanya obrolan cakrukan dan disampaikan dengan bahasa sederhana, tapi berbagai tema yang mengemuka kadang terasa cukup berat. Misalnya, tema terkait ancaman kedaulatan pangan, kasus stunting dan kemiskinan ekstrem yang sedang jadi hot news akhir-akhir ini.

Obrolan terkait kemiskinan ekstrem malam itu, para aktivis cakrukan itu punya kesan tersendiri. Katanya, datanya sengaja digelembungkan. Solusi yang ditempuh Pemerintah Daerah pun terkesan aneh, ora gathuk dan tidak nyambung sehingga lucu. Pak Bei merasa bakan kapasitasnya menilai kesan mereka. Namanya juga kesan, mungkin benar mungkin salah. Jelas itu rasanya diluar kapasitas Pak Bei yang hanya rakyat biasa.

Baca Juga:  ZONA NETRALITAS ASN PADA PILKADA

Untunglah, ada dalil mengatakan _”Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kapasitasnya”_. Artinya, rakyat tidak memiliki kewajiban memikul tanggung jawab mewujudkan tata kelola negara yang baik dan adil. Pejabat dan para pengambil kebijakan yang sudah disumpah dan digaji besar oleh rakyatlah yang wajib hukumnya mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.

“Pak Bei, sebenarnya kami ingin sekali membantu Pemerintah, tapi tidak ada ruang bagi kami,” kata Aji yang malam itu datang bersama 5 temannya.

_”Membantu dalam hal apa, Mas?,”_ tanya Pak Bei pada pemuda ganteng itu.

“Percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem, Pak Bei. Kabupaten kita kan termasuk yang tinggi di Jawa Tengah. Dari 26 Kecamatan, ada 22 yang termasuk miskin ekstrem. Itu kan sangat memalukan,” jawab Aji.

_”Loh, memangnya Pemkab kita butuh bantuan kalian? Jangan-jangan gak butuh, Mas?”_

“Ya memang, Pak Bei, setelah kemarin kami audiensi ke pemangku kepentingan yang kami pandang kompeten, rupanya Pemkab memang tidak butuh partisipasi masyarakat. Mereka sudah punya program sendiri yang harus dijalankan.”

Baca Juga:  Pendidikan Indonesia: Jembatan Emas Yang Rapuh

_”Nak bener, kan?”_

“Tapi menurut kami programnya tidak relevan, Pak Bei?,” kata Arya aktivis petani millenial itu.

_”Tidak relevan bagaimana? Bagi Pemerintah, program itu yang penting sudah sesuai aturan, sesuai regulasi, berbasis data, dan terukur.”_

“Program penanggulangan kemiskinan ekstrem dan stunting kok cuma jambanisasi, perbaikan rumah tidak layak huni dan penyambungan listrik PLN. Itu kan cuma fisik, Pak Bei. Proyek infrastruktur, buang-buang anggaran dan tidak menyelesaikan masalah,” Arya menyanggah Pak Bei.

_”Lha kalau kenyataan di lapangan memang banyak rumah yang belum punya jamban, tidak layak huni, dan belum terjangkau penerangan listrik, solusinya yang program-program itu to, Mas.”_

“Sebenarnya kami punya gagasan yang lebih bagus untuk percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem dan stunting, Pak Bei. Tapi, ah sudahlah. Percuma saja ide bagus kalau tidak bisa diakomodir,” kata Taufiq.

_”Mbok coba ide itu ditulis, Mas, dibikin proposal biar dipelajari.”_

“Dari obrolan pas audiensi kemarin, tidak ada gunanya lagi kami bikin proposal, Pak Bei. Program dan anggarannya sudah diketok palu, tidak bisa diubah lagi,” kata Wawan.

_”Ya sudah kalau begitu. Disimpan saja gagasan kalian yang bagus itu. Suatu saat pasti akan berguna. Itu kan hanya soal momentum saja yang belum tepat.”_

“Maksud Pak Bei?”

_”Kalian tentu paham ini tahun politik. Beberapa bulan lagi kita akan memilih Calon Presiden dan Parlemen. Semua pejabat tentu sudah ke sana pikirannya. Ide kalian yang bagus itu mungkin dipandang kurang strategis untuk kepentingan politik memenangkan Pemilu dan Pilpres 2024.”_

Baca Juga:  Pesan Menyentuh Dari Kyai Hasan Asy’ari Ulama’i

“Keliru, Pak Bei. Kalau mereka mau, sebenarnya program yang kami tawarkan ini justru akan sangat menguntungkan bagi yang punya agenda politik.”

_”Nyatanya ditolak, kan?”_

“Kami pikir penolakan itu bukan karena kalkulasi politik kok, Pak Bei.”

_”Karena apa?”_

“Karena tidak kompeten.”

_”Loh katanya pemangku kepentingan, penanggungjawab program percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem dan stunting? Ya pasti kompetenlah.”_

“Nyatanya tidak kompeten kok, Pak Bei. Bahkan tidak mudheng, tidak paham dikasih ide bagus.

Malam sudah cukup larut. Udara sudah terasa lebih atis, dingin. Semua cangkir kopi juga sudah tandas diminum. Pak Bei pun harus istirahat. Para pemuda itu pun berpamitan, menyalami Pak Bei satu per satu, pulang ke rumah masing-masing.

_”Hari gini masih ada pemuda-pemuda yang peka dan peduli pada situasi lingkungannya. Lumayan, masih ada harapan untuk masa depan yang lebih baik,”_ kata Pak Bei dalam hati sambil menutup pintu.

Klaten, 25/08/2023

• Aktivis JATAM (Jamaah Tani Muhammadiyah) dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *