Sangu

_A. Hilal Madjdi_

Di masa kecil saya, diksi “sangu” tidak hanya membuat hati berbunga-bunga bahagia, tapi juga membuat angan-angan untuk membeli sesuatu melayang jauh. Bagi anak kecil, sangu memang semacam menambah amunisi baru untuk membahagiakan diri diluar dari apa yang secara baku diterima dari keluarga. Karena pemberian semacam ini juga dikenal dengan diksi “bebungah”. Maka tak heran jika si anak kecil penerima bebungah kemudian “lengket” dengan sang pemberi sangu. Bagi si kecil, sang pemberi sangu tidak saja dermawan/dermawati, tapi juga manusia yg tak pernah nampak cela dan salahnya.

Timing “sangu” atau “bebungah” juga terhubung dengan even-even yang memang ditunggu-tunggu si kecil. Sayangnya, hampir tak ada even prestatif yang dimonumentasikan dengan “sangu”. Para dermawan/ dermawati (bisa kakak, pak de/bu de, pak lek/bu lek, pak Kaji/bu Kaji) lebih sering memilih waktu-waktu populis terkait dinamika sosial budaya di masyarakat.

Baca Juga:  Anak Muda Sukseskan Pemilu 2024

Di Kudus, waktu menjelang “dandangan” (perayaan tradisional menyongsong bulan Ramadlan) atau menjelang Idul Fitri biasanya lebih sering dipilih orang dewasa untuk memberi “sangu” kepada anak kecil. Di pekan-pekan “dandangan” ini anak-kecil memang membutuhkan uang untuk membeli mainan atau jajanan yang dijual di arena “dandangan” di sekitar Menara Kudus.

Melebar

Dampak positif dari “sangu” atau “bebungah” yang secara tidak langsung menumbuhkan traksaksi-transaksi “human relation” yang positif ini kemudian melebar menjadi pola komunikasi intra personal dengan berbagai latar belakang dan tujuan. Dalam konteks yang melebar ini, transaksi “sangu” atau “bebungah” memang menghasilkan dampak positif yang kurang lebih sama dengan apa yang terjadi pada anak-anak di masa “dandangan”. Biasanya, yang kemudian terjadi adalah berubahnya urusan-urusan yang rumit menjadi sederhana.

Berbagai urusan mulai dari mencari pekerjaan, persekolahan atau perkuliahan, perkantoran dan bahkan sampai urusan-urusan sosial politikpun bisa terselesaikan dengan “sangu” atau “bebungah”.

Baca Juga:  Pemungutan dan Penghitungan Suara Banyak Pasal Tindak Pidana

Pada beberapa adat pernikahan/perkawinan, seorang adik yang akan menikah mendahului kakaknya “wajib” memberikan “bebungah” yang dikenal dengan “pelangkah” atau “pengunggah”. Varian dan besaran “pelangkah” secara adat diserahkan kepada pemberi “pelangkah”, namun umumnya ada barang tertentu yang harus ada.

Risywahkah ?

Dalam tata kelola Persyarikatan kita, bisa jadi model “sangu” atau “bebungah” juga digunakan oleh pihak yang merasa berada dalam kondisi “terancam” atas kesalahan yang telah dilakukan ataupun karena ada kepentingan yang diperjuangkan. Sebab, seandainya Persyarikatan sampai harus membentuk Tim Pencari Fakta (TPF), Tim Auditor Keuangan (TAK) atau semacamnya, kita tahu bahwa TPF/TAK ini tentu tidak sekuat dan setangguh lembaga Inspektorat/BPK/BPKP, baik secara prosedural maupun kualitas Sumber Daya Manusia. Lebih dari itu, TPF/TAK ini bisanya lebih banyak bergerak pada misi pembinaan daripada misi investigasi.

Baca Juga:  PEMUDA

Akibatnya, habituasi “sangu” atau “bebungah” yang telah menjadi moda “human relation building” dan telah melebar ke ranah “problem solving” ini secara langsung maupun tidak telah mempengaruhi upaya-upaya tindak lanjut atas segala hal yang dikomunikasikan oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima).

Maka muncullah guyonan-guyonan dari _”Muhammadiyihin jalanan”_ yang sebenarnya merupakan autokritik kepada Pimpinan Persyarikatan sebagai wujud ekspresi cinta. Maka jika ada yang mengatakan bahwa saat ini beberapa dari kita “masuk angin” ketika sedang menangani suatu masalah di Persyarikatan, ada baiknya jika kita bertanya pada diri kita sendiri : apakah semua itu terjadi karena kita menerima “sangu” atau “bebungah” ?

Pertanyaan ke dua adalah, apakah “sangu” atau “bebungah” itu kemudian termasuk kategori risywah ?

_Kudus, 29 Agustus 2023_

*) Wakil Ketua PDM Kudus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *