Oleh: Dwi Prasetyanti
Tanggal 21 Agustus 2024, tepat empat hari setelah peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 79, menjadi salah satu momentum bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Beranda media sosial masif dipenuhi gambar Garuda berlatar belakang warna biru dengan tulisan ” Peringatan Darurat.”
Gambar itu diunggah ramai-ramai oleh netizen sebagai sikap atas revisi UU Pilkada oleh DPR yang menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat usia minimum calon kepala daerah. Mahkamah Konstitusi memutuskan umur calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun saat penetapan calon oleh KPU. Sementara DPR menetapkan batas usia minimum calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun saat pelantikan, bukan pada saat penetapan.
Berbagai pihak menduga langkah DPR merevisi UU Pilkada adalah untuk memuluskan langkah salah satu bakal calon Kaesang Pangarep yang merupakan anak Presiden Jokowi, yang belum genap berusia 30 tahun saat penetapan calon oleh KPU. Hal inilah yang memicu kemarahan semua pihak sehingga gambar burung Garuda berlatar biru dan tagar Kawal keputusan MK, viral di media sosial. Selain peringatan darurat tagar Kawal keputusan MK, dibuat dengan tujuan mengajak masyarakat Indonesia untuk bersatu dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengawal proses pemilihan kepala daerah 2024. Media berita Narasi TV adalah yang pertama kali memviralkan dan diikuti oleh netizen. Tak hanya masyarakat umum sejumlah tokoh, publik figur semua ikut menyuarakan peringatan darurat, yang diikuti dengan aksi penolakan revisi UU Pilkada di gedung DPR pada keesokan harinya yaitu Kamis, 22 Agustus 2024.
Gambar Burung Garuda berlatar belakang warna biru ini ternyata diambil dari tangkapan layar video yang diunggah oleh akun YouTube EAS Indonesia concept dan diunggah pada 24 Oktober 2022 sebagai simbol perlawanan untuk menyerukan darurat demokrasi Indonesia. Adapun EAS atau Emergency Alert System adalah sistem peringatan nasional di Amerika Serikat yang dirancang untuk memungkinkan pejabat berwenang menyiarkan peringatan darurat dan pesan peringatan kepada publik melalui televisi kabel, satelit dan siaran serta radio AM, FM. Selain itu, sistem ini biasanya digunakan dalam skala regional, untuk menyiarkan peringatan darurat secara efisien melalui berbagai saluran. Peringatan biasanya berisi mengenai cuaca buruk, kondisi darurat yang berdampak besar bagi keselamatan masyarakat sipil.
Fenomena tersebut juga disuarakan oleh kaum perempuan dari berbagai kalangan. Sebagai bagian dari warga negara semua memiliki hak yang sama untuk bersuara dan berpendapat. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu, saya merasa inilah momentum yang tepat merespons kondisi negara yang sedang tidak baik-baik saja. Suara ibu, suara perempuan meski lirih, nyaris tak terdengar adalah suara yang lahir dari keprihatinan akan kondisi negeri. Suara ibu menggambarkan pernyataan sikap politik, meskipun banyak suara sumbang untuk menjaga jarak dengan politik. Banyak yang berpendapat lebih baik diam dan fokus menjalankan peran sehari-hari sebagai seorang ibu. Ada juga yang memilih diam karena menganggap hal ini tidak ada pengaruhnya dengan kehidupan pribadi. Ada yang terlupakan bahwa sebagai perempuan kita tidak boleh buta politik, dengan kata lain harus meningkatkan literasi politik. Ada kutipan menarik dari Bertolt Brecht seorang penyair dan dramawan dari Jerman.
Buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung kepada keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar aku benci politik. Sungguh bodoh dia yang tak menyadari, bahwa buta politik berakibat maraknya kejahatan, kebijakan yang tidak pro rakyat kecil, korupsi, perusahaan multi nasional yang menguras kekayaan negeri. Anak terlantar, kemiskinan dan tertutupnya akses kehidupan untuk orang miskin.
Peduli terhadap kondisi negeri, memilih untuk ikut bersuara adalah langkah menuju perubahan besar. Satu suara ditambah aksi nyata akan mempengaruhi kehidupan negara secara keseluruhan. Nasib 270 juta warga negara Indonesia salah satunya ditentukan oleh sikap politik. Apa jadinya jika hukum di negara kita bisa dibengkokkan dengan gampang sesuai keinginan penguasa. Apa yang akan terjadi jika hak-hak dasar warga negara dikebiri untuk kepentingan segelintir orang yang sedang berkuasa? Apa jadinya jika pajak yang diambil dari kerja keras rakyat hanya digunakan untuk membiayai liburan penguasa, membiayai istana megah penguasa, membiayai hidup penguasa dan keluarganya. Padahal hasil kerja keras rakyat lebih utama untuk, menggaji guru dengan layak demi pendidikan dan generasi masa depan. Memperbaiki jalan, infrastruktur demi keselamatan dan kenyamanan. Investasi ramah lingkungan untuk kualitas kehidupan yang semakin baik. Atas nama hak-hak dasar warga negara inilah, para ibu harus berani bersuara dan menyatakan sikap politik.
Selain memilih untuk ikut bersuara, momentum peringatan darurat juga bisa menjadi langkah awal untuk menanamkan karakter kepada anak-anak kita. Apa yang telah dipertontonkan penguasa hari ini bisa menjadi pembelajaran yang luar biasa untuk anak-anak kita. Apa saja pembelajaran atau penanaman karakter yang bisa kita lakukan saat ini?
1. Menanamkan sikap bekerja keras dengan usaha sendiri dan tidak mengandalkan fasilitas dari orang tua. Fasilitas orang tua tidak hanya dari kekayaan atau warisan tapi bisa juga kemudahan akses yang diberikan kepada anak-anak karena jabatan yang dimiliki orang tua. Tentu kita ingin mengantarkan anak-anak menjadi generasi perintis yang berdiri di atas kaki sendiri, memperoleh prestasi dari usaha mereka sendiri.
2. Mengajarkan anak untuk menaati aturan.Segala sesuatu memiliki aturan berdasarkan batasan usia. Contohnya usia masuk SD yang paling tepat sesuai dengan tahapan perkembangan adalah 7 tahun. Batas usia untuk memiliki SIM dan KTP adalah 17 tahun. Batas usia untuk mendaftar kepala daerah adalah 30 tahun. Biasakan anak memahami aturan usia, karena usia sangat berpengaruh terhadap kematangan dan kemampuan.
3. Mengajarkan anak untuk sabar menunggu giliran. Sabar menunggu giliran artinya menghormati hak orang lain. Tidak menerobos antrian apalagi dengan menghalalkan segala cara.
4. Menanamkan pendidikan politik sejak dini agar anak memahami hak sebagai pribadi atau hak-hak dasar yang harus dimiliki serta menghargai hak-hak orang lain. Menanamkan sikap peduli, empati terhadap kondisi orang lain adalah langkah awal terbentuknya sikap peduli terhadap kondisi negara.
5. Menanamkan sikap pandai bersyukur, merasa cukup dengan apa yang dimiliki saat ini dan menjauhkan anak dari sikap rakus dan serakah. Apa yang dipertontonkan penguasa saat ini adalah gambaran sikap rakus dan serakah yang tak layak untuk ditiru.
6. Berani bersuara memperjuangkan ketidakadilan demi kemanusiaan kualitas kehidupan yang lebih aman, nyaman dan berkeadilan.
Mungkin belum terlambat bagi kita kaum perempuan untuk mulai bersuara dan menunjukkan kepedulian. Bagaimana caranya? Mulailah dengan langkah kecil, mulailah dengan membaca ( meningkatkan literasi politik). Mulailah dengan memahami situasi saat ini, bukan menutup mata. Menyerahkan nasib bangsa kepada orang lain, saatnya mengambil peran sekecil apapun itu, jika kita bergerak bersama-sama akan memberikan dampak yang luar biasa. Terbukti dari aksi viral kondisi darurat dibarengi aksi nyata di berbagai kota keputusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan usia calon kepala daerah, bisa dikawal bersama-sama. Aksi nyata yang bisa kita lakukan adalah melangitkan doa. Semoga Allah melindungi negara kita dari segala macam bentuk kezaliman dan usaha berbuat makar. Melindungi anak-anak kita yang saat ini berjuang, membela kehormatan konstitusi untuk kehidupan dan masa depan demokrasi yang jauh lebih baik.
Dwi Prasetyanti, Penulis guru TK Aisyiyah Pembina Salatiga, guru penggerak angkatan 8 Kota Salatiga