Pujiono
[Dibawah ini saya sarikan tulisan dari Sambutan Ketua PWM Jateng, Dr. KH. Tafsir, M.Ag pada Konsolidasi Muhammadiyah Jateng di Unimus, Ahad : 3 Desember 2023]
Dakwah itu merangkul bukan memukul, dan mengajak bukan menginjak. Saatnya mubaligh Muhammadiyah berfikir “jumlah kepala” dengan potensi “isi kepala” nya.
Saat terjadi gempa tektonik di Klaten (2006), saya melakukan penelitian suasana keberagamaan di tengah bencana. Terinspirasi sebuah tulisan di salah satu tembok : Tuhan Engkau dimana?
Demikian juga Disertasi saya mencoba mengangkat strategi dakwah Muhammadiyah di desa
Plompong Brebes, Kaliwungu Kendal, dan Jatinom Klaten.
Di Plompong, sebuah desa yang berada di tengah hutan, mayoritas masyarakatnya petani. Dan disana Muhammadiyah bisa berkembang dengan pesat sebagai warga mayoritas, 70 persen. PRM Plompong memiliki amal usaha yang komplit, meskipun mayoritas petani. Kaum petani banyak melakukan “slametan” (sedekah ala Jawa dengan berbagi makanan untuk berbagai keperluan). Berbeda dengan pegawai ASN, yang jarang melakukan slametan. Karena gajinya sudah pasti terbayar setiap tanggal satu setiap bulan. Tak peduli musim panen, saat paceklik atau keadaan ekonomi sedang resesi.
Berbeda dengan petani, yang memulai mengolah sawah, lalu menebar benih, menanam bibit, mengairi sawah dan memupuk, menyiangi gulma dan menjaga tanaman hingga panen. Bisa jadi, besok hari mau panen tetapi malamnya diterjang angin lisus atau terkena banjir. Maka masyarakat petani dengan ihtiar ilahiyah berupa slametan di setiap tahapan bercocok tanam, merupakan wujud “ibadah sosial/ghairu mahdhah“.
Warga mayoritas Muhammadiyah yang petani di Plompong terbiasa mengadakan slametan. Mengapa dakwah Muhammadiyah bisa diterima disana ? Karena bersifat kultural, sesuai kearifan lokal dan secara sosiologis mampu dipahami dan dipraktekkan dengan baik oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah.
Selain itu, ada warga Muhammadiyah yang mahir musik melayu. Maka masyarakat pun tertarik dan ikut serta berkesenian melalui grup musik Orkes Melayu kebanggaan warga Plompong. Kalau sekarang dangdut koplo atau campursari. Jika “ketanggor” (ketemu) ustadz yang gemar mengharamkan musik dan suka melafadzkan dalil “kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin fin-nar” (setiap bid’ah/tambahan itu sesat, dan setiap kesesatan masuk neraka) pastilah Muhammadiyah di Plompong tidak akan berkembang seperti sekarang.
Kaliwungu
Berbeda lagi dengan Muhammadiyah di Kaliwungu, Kendal. Dimana warga persyarikatan berada di tengah mayoritas warga NU. Boleh dikatakan, masyarakat Kaliwungu batuk saja bunyinya “NU..” (disampaikan secara bercanda, guyonan). Tapi Muhammadiyah bisa berkembang di tengah mayoritas warga nahdhiyin. Ternyata di tahun 60- an Hizbul Wathan (HW) Pemuda Muhammadiyah memiliki group Drumband. Dan Group drumband HW-PM saat itu telah menjadi kebanggaan warga Kaliwungu. Meski mereka anggota Banser GP Anshor, namun bangga bisa ikut menjadi pemain Drumband. Disinilah pertalian emosional kultural terjadi, sehingga di Kaliwungu, Muhammadiyah eksis dan bisa berkembang hingga sekarang.
Jatinom
Di Jatinom Klaten, ada harmoni tradisi berupa “Yaqowiyu”, yaitu tradisi menyebar apem setiap bulan Sapar, bulan kedua penanggalan Jawa. Sehingga lazim disebut juga dengan perayaan “Saparan”. Banyak masyarakat yang “ngalap berkah” (mencari keberkahan) dari apem yang didapatkan. Menurut keyakinan sebagian masyarakat, apem biasa ditaruh di 3 tempat, yaitu : dompet, lumbung padi dan kebun.
Halaman masjid yang dipergunakan sebagai tempat acara saparan merupakan “Masjid Muhammadiyah”. Bahkan yang menyebarkan apem dari panggung di halaman masjid Ketua PCM Jatinom. Tradisi yaqowiyu masih berlangsung hingga sekarang.
Berdasarkan hasil penelitian atas perkembangan dakwah Muhammadiyah di 3 lokasi, yaitu Plompong-Brebes, Kaliwungu-Kendal dan Jatinom-Klaten, kita bisa mengambil kesimpulan dua hal. Bahwa budaya berbagi “makanan” (Slametan) dan “seni” (Orkes Melayu, Drumband) merupakan sarana yang efektif untuk berdakwah dan mengumpulkan warga. Masyarakat menjadi mudah dikumpulkan jika ada makanan dan kesenian.
Dalam tradisi lebaran Idul Fitri, kita juga melihat simbol budaya berupa logo Bedug dan Ketupat. Atau “bancakan” nasi tumpeng untuk hajatan ulang tahun dan tasyakuran. Bedug merupakan simbol seni-budaya, ketupat adalah simbol budaya pangan masyarakat Jawa Islam.
Dakwah kultural harus dipahami dan mampu diamalkan oleh para Mubaligh dan Da’i Muhammadiyah. Memahami kondisi sosiologis, menjiwai seni dan budaya lokal bisa menjadi sarana yang efektif dalam mengembangkan dakwah di akar rumput. Saatnya Muhammadiyah menambah “jumlah kepala”, disamping “isi kepala” yang sudah mendunia.
Unimus Semarang : 3 Desember 2023
*) Pujiono, Majelis Tabligh PWM Jateng. Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Program Khusus Banyudono, Boyolali.