Gus Zuhron
Dengan tegas ustadz kondang tanah air itu menjawab pertanyaan dari jamaah tentang hukum membayar pajak. Bahwa berdasarkan landasan dalil dan pendapat para ulama membayar pajak itu hukumnya haram. Jawaban itu sontak membuat saya kaget sekaligus penasaran. Karena selama ini yang dipahami tidak ada masalah dengan yang namanya pajak.
Penelusuran literatur dilakukan untuk mencari argumentasi tentang keharaman membayar pajak. Beberapa dalil berikut adalah basis argumen yang biasa digunakan untuk menuju kesimpulan bahwa pajak benar-benar haram.
Pertama, firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil.”
(Qs. An Nisa : 29).
Pajak dianggap oleh sebagian ulama bagian dari upaya memakan harta batil. Tindakan ini jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at mengenai mencari dan mengeluarkan harta. Oleh karenanya sebagai Muslim tidak ada kewajiban membayar pajak.
Kedua, hadits nabi : “Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya“.
Dalil lain yang bisa dicantumkan “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka”
(HR Ahmad 4/109, Abu Dawud).
Hadits ini diperkuat dengan hadits yang lain. “Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”.
(HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930)
Ketiga, pendapat para ulama seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ummar bin Abdul Azis, Imam Ahmad, Ibnu Rajab, Imam As Saukani, Syeikh bin Bas dan lainya adalah kelompok ulama yang selaras pandangannya mengenai pajak. Mereka semua berkesimpulan bahwa pajak adalah tindakan zalim dan tidak seyogyanya seorang Muslim membayar pajak dikarenakan statusnya yang haram.
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama الْعُشْرُ (Al-Usyr) atau الْمَكْسُ (Al-Maks), atau bisa juga disebut لضَّرِيْبَةُ (Adh-Dharibah), yang artinya adalah “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak”. Atau suatu ketika bisa sebut الْخَرَاجُ (Al-Kharaj), akan tetapi konteks yang terakhir ini biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.
Selain pendapat yang mengharamkan Pajak, ada sebagian ulama yang membolehkan seorang Muslim membayar pajak. Kebolehan itu harus memenuhi kriteria yang ketat. Jika kriteria yang dimaksud tidak terpenuhi maka sesungguhnya kewajiban membayar pajak itu tidak berlaku.
Diantara kriteria yang ditetapkan para ulama adalah dalam keadaan darurat. Hal ini didasarkan dengan kaidah “Addhorurotu tubiihul mahduurat“. Dalam keadaan darurat sesuatu yang tadinya diharamkan menjadi boleh dilakukan. Salah satu contoh keadaan darurat itu adalah apabila negara tidak mempunyai pendapatan lain untuk digunakan sebagai operasional negara. Dalam kondisi semacam itu maka memungut pajak menjadi dibolehkan.
Kriteria lain adalah pajak yang ditarik oleh negara harus dikelola secara profesional dan tidak ada penyelewengan. Apabila terjadi tindakan penyelewengan terhadap pajak maka gugur kewajiban seorang Muslim untuk membayar pajak.
Dalam konteks Indonesia sudah terbit PP No 60 tahun 2010 tentang zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam peraturan ini negara telah memberikan ruang agar umat Islam dapat melaksanakan kewajiban membayar zakat sehingga mengurangi beban kewajiban membayar pajak.
Dengan demikian perlu tafsir yang jitu dalam melihat setiap aktivitas ekonomi yang menghasilkan rupiah agar tidak terkena pajak. Tafsir itu diarahkan agar mewujud dalam bentuk zakat. Dengan cara demikian kehalalannya jelas dan menghantarkan setiap orang untuk selamat dunia akhirat. Zakat itu menyelamatkan sedangkan pajak itu…..entahlah.
22 Januari 2024
*) Sekretaris MPKSDI PWM Jateng, Dosen Unimma Magelang