Wahyudi Nasution
Lagi-lagi sikap usil Kang Narjo kumat alias kambuh. Bila sudah seperti itu, kadang Pak Bei terpikir segera mengusirnya. Sebab kalau dilayani, omongannya bisa ngelantur kemana- mana dan sulit dikendalikan. Tapi tidak mungkin juga Pak Bei mengusir Kang Narjo.
Pak Bei paham betul sahabatnya yang loper koran senior itu butuh tempat curhat, butuh teman berbagi pikiran yang kadang terasa sumpek, butuh teman yang mau menjadi ember buat membuang limbah perasaan dan pikirannya yang galau.
Diantara keusilannya, tidak jarang justru muncul ide atau gagasan cemerlang dari Kang Narjo.
“Ada apa, Kang?,” tanya Pak Bei melihat Kang Narjo memarkir motornya lalu duduk nglesot sambil meletakkan koran pagi di lantai.
“Pengin omon-omon, Pak Bei,” jawab Kang Narjo sambil pringas-pringis.
“Apa, Kang?.”
“Pengin omon-omon.”
“Wah kok kaya capres saja. Gak bahaya tah?”
“Enggaklah, Pak Bei. Ini omon-omon tingkat tinggi, tidak mungkin kusampaikan ke sembarang orang.”
“Tunggu sebentar ya, kubuatkan kopi dulu.”
“Siap. Pak Bei selalu tahu yang kumau,” jawab Kang Narjo.
Tak sampai lima menit, Pak Bei sudah kembali ke teras sambil membawa segelas kopi robusta kesukaan sahabatnya. Kang Narjo pun sudah hafal caranya agar kopi panas kicat-kicat itu bisa segera diminum. Dituangkan pelan-pelan kopi ke lepek alias piring kecil, ditunggu beberapa detik, lalu diseruput sedikit demi sedikit. Hayati dan rasakan kehangatan kopi mengalir membasahi kerongkongan hingga terasa hangat saat bersamayam di usus yang masih kosong dan kedinginan. Mata yang semula terasa agak ngantuk pun sepontan langsung kemepyar terang- benderang.
“Alhamdulillah….seger,” kata Kang Narjo sambil meraih rokok kretek dan korek di depan Pak Bei. Ambil sebatang, dinyalakan, dihisap pelan-pelan, dan buulll….gumpalan asap putih pun keluar dari mulut Kang Narjo.
“Mau omon-omon apa, Kang?”
“Soal food estate, Pak Bei.”
“Wah berat itu, Kang?”
“Kalau dilihat dari kaca mata dan pamrih politik ya pasti berat. Tapi kalau kita bicara objektif dari sisi pentingnya membangun kedaulatan pangan, food estate itu sebenarnya ya biasa-biasa saja, tidak perlu diperdebatkan.”
“Kok gitu, Kang?”
“Ya jelas, Pak Bei. Ekstensifikasi pertanian memang kita perlukan untuk menjaga ketersediaan pangan bagi hampir 300 juta perut penduduk RI. Lahan yang ada sudah semakin sempit, terus berkurang, terus beralih fungsi menjadi perumahan, real estate, dan jalan tol. Produktivitas pertanian juga semakin menurun, baik karena faktor kesuburan tanah yang rusak karena penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia yan sudah berlangsung puluhan tahun, karena faktor tenaga petani yang menurun karena rata-rata sudah uzur dan tidak terjadi regenerasi, maupun karena faktor cuaca yang tidak menentu. Belum lagi faktor aneka hama yang datang silih-berganti.” Kang Narjo kembali nyeruput kopi dan menikmati kretek di tangannya.
“Iya juga ya, Kang. Padahal yang butuh makan semakin bertambah dari tahun ke tahun.”
“Sayangnya motivasi program food estate itu tampak lebih karena faktor politik.”
“Kok bisa, Kang?”
“Lha kan yang digandeng sebagai mitra di program itu para konglomerat atau korporasi. Bukan para petani yang pekerjaan dan habitatnya memang bertani.”
“Ya memang mereka yang punya modal dan teknologi kok, Kang?”
“Iyaak siapa bilang?”
“Ya aku.”
“Itu konsesi politik, Pak Bei. Masa gak tahu sih. Anggarannya kan jelas dari APBN, dibagi-bagi untuk konsesi politik.”
“Konsesi bagaimana to, Kang?”
“Balas budi, Pak Bei. Lihat saja, siapa-siapa yang ngerjakan proyek bernilai triliunan rupiah itu? Pasti para pengusaha dan orang dalam yang telah berjasa besar mendukung terpilihnya Presiden. Bagi-bagi proyeklah, Pak Bei.”
“Kang, mbok jangan gitu ah. Itu shu’udzon namanya. Gak baik.”
“Pak Bei, sebenarnya food estate itu menurutku gampang diwujudkan, Insya Allah pasti berhasil dan tidak perlu ribut. Itu pun kalau Pemerintah mau mendengarkan suara saya.”
“Wah elok. Memang Kang Narjo punya saran bagaimana?”
“Pertama, lepaskan Proyek Strategis Nasional yang dibiayai dengan dana APBN itu dari urusan politik.”
“Terus…”
“Ajaklah PP Muhammadiyah dan PBNU duduk bersama mencari solusi soal kedaulatan pangan. Pasti beres.”
“Kenapa perlu ngajak PP Muhammadiyah dan PBNU, Kang? Apa relevansinya?”
“PP Muhammadiyah punya banyak ahli di kampus-kampus, baik yang di Universitas Muhammadiyah dan Aisyiyah, maupun di Universitas Negeri. Muhammadiyah dan NU juga sangat sama-sama concern berdakwah di bidang pertanian, melalui MPM dan Lakpesdam.”
“Terus, Kan?”
“Kasih saja Muhammadiyah dan NU kuota masing-masing berapa juta atau berapa ratus ribu hektar dengan target produksi beras, jagung, ketela, kedelai, dan sebagainya.”
“Terus, Kang?”
“Coba bayangkan, Pak Bei. Misalnya PP Muhammadiyah diberi kuota dan anggaran untuk satu juta hektar, tersebar di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTT, dan Papua. Kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh Muhammadiyah?”
“Apa ya, Kang?”
“Aku punya ide. Gerakkan saja program transmigrasi, kolaborasi dengan Kementerian Transmigrasi, Kementerian Pertanian, Kementerian Pendidikan, Kementerian PURR, Kemenag, BUMN, dsb.”
“Terus, Kang?”
“Mari kita coba berhitung. Kalau misalnya ada lahan yang disediakan 1.000 hektar di satu daerah dan diharapkan akan efektif menghasilkan pangan. Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan bertugas menyediakan lahan, Kemen PURR membangunkan perumahan, PLN mengaliri listriknya, Kominfo memasang jaringan Wifi, Kemenag membangunkan masjid dan madrasah, Kementerian Pertanian menggandeng MPM Muhammadiyah melakukan pendampingan bagi petani. Bulog dan Bapanas menyiapkan off-taker hasil pertanian.”
“Bagus itu, Kang. Terus…”
“Seperti jaman Pak Harto dulu, bila setiap KK mendapatkan jatah lahan pertanian 2 Ha serta 1 kapling rumah dan subsidi biaya hidup 1-2 tahun, maka terjadi penambahan 1.000 hektar lahan pertanian yang langsung dikelola oleh para petani, bukan oleh korporasi. Dengan cara itu, program food estate Insya Allah akan berhasil.”
“Iya ya, Kang. Bagus itu.”
“Di lokasi trans itu nanti, Muhammadiyah bisa mendirikan sekolah-sekolah dari SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, masjid dan mushola, TPA dan Pondok Pesantren. Untuk Perguruan Tinggi, Muhammadiyah sudah punya di beberapa kota di luar Jawa.”
“Iya juga, Kang.”
“Kalau ada transmigran sejumlah 500 KK atau sekitar 1.500 jiwa, itu sudah bisa menjadi satu ekosistem sosial ekonomi yang luar biasa. Sementara para suami bertempur di lahan pertanian, para istri bisa buka usaha warung bakso, mie ayam, tahu kupat, toko sembako, toko seluler, toko bangunan, toko obat, toko pertanian, dan sebagainya di rumah masing- masing. Pasarnya sudah ada, pembelinya sudah ada. Sambil bertani, para suami bisa juga buka bengkel servis sepeda atau sepeda motor, misalnya. Bisa juga ibu-ibu buka usaha jasa jahit atau modiste. Jadi, sambil menunggu saat panen tiba, di sana sudah ada perputaran ekonomi yang cukup tinggi, antar-mereka sendiri. Aktivitas pendidikan dan peribadatan pun berjalan baik dengan guru-guru dan da’i dari Muhammadiyah.”
“Bagus idemu, Kang.”
“NU juga dikasih kesempatan yang sama, tapi di lokasi yang berbeda. Jadi nanti akan ada penambahan Cabang dan Ranting Muhammdiyah dan NU di berbagai daerah. Asyik kan, Pak Bei?”
“Iya aja, deh. Asyik itu.”
“Sudah ya, Pak Bei. Cukup sekian dulu omon-omon kita pagi ini. Aku harus melanjutkan tugas negara.”
“Oke, Kang. Terima kasih omon-omonnya. Luar biasya.”
Dua sahabat pun berpisah. Kang Narjo melanjutkan tugasnya mengantar koran pagi ke pelanggan, Pak Bei mengerjakan tugas yang perlu diselesaikan.
Klaten, 22/01/2024
#ketualpumkmpdmklaten
#mpmppmuhammadiyah
#jamaahtanimuhammadiyah