Oleh: A. Haidar – (Anggota MPKSDI PCM Moyudan, Sleman, Yogyakarta)
Fordem.id – Persyarikatan Muhammadiyah bagai gula dirubung semut ketika momen Pilpres dan Pilkada. Kontestan yang maju di ajang pemilihan berebut suara dari warga organisasi berlambang Matahari itu.
Semua kontestan pasti berlomba mencitrakan diri sebagai Muhammadiyin alias “orang yang paling Muhammadiyah”. Hadir di berbagai acara dan memakai simbol khas Muhammadiyah, biar dianggap sebagai orang yang secara struktural dan kultural paling dekat dengan Muhammadiyah.
Sah-sah saja pencitraan diri untuk meraih kemenangan. Namun jika pencitraan terlalu dibuat-buat dan ketahuan sandiwara maka akan nampak “wagu”. Justru berlomba mencitrakan diri dengan hal positif dan dengan cara yang positif akan membantu masyarakat memilih mana kontestan yang terbaik.
Persoalan muncul ketika kontestan yang berlaga mengaku sama-sama Muhammadiyin, apalagi sama-sama punya Kartu Anggota Muhammadiyah. “Milih siapa ya? bingung ‘la wong’ semuanya Muhammadiyah”.
Tidak usah bingung, coba saja ketika ketemu calon atau paslon pimpinan itu iseng-iseng ditanya spontan dengan pertanyaan yang enteng-entengan misalnya : “Jika anda mengaku Muhammadiyah, bagaimana lafadz doa iftitah?”.
Jika doa iftitahnya Muhammadiyah saja tidak bisa, bagaimana kita bisa percaya kalau yang bersangkutan adalah Muhammadiyah.
Pertanyaan yang agak berat misalnya tentang “Berapa jumlah Amal Usaha Muhammadiyah di daerah anda yang maju, agak maju dan ‘ndap-ndip’ alias kembang kempis?”
Kalau jumlah Amal Usaha Muhammadiyah di daerahnya saja tidak tahu, maka apakah layak disebut kontestan yang paling Muhammadiyah?
Pertanyaan terakhir, yang bobotnya lumayan berat kepada kontestan adalah “Seberapa besar dan maksimal infaq yang akan diberikan kepada Muhammadiyah?”.
Bagaimanapun tradisi Muhammadiyah adalah tradisi memberi, berinfaq. Sejak kecil orang Muhammadiyah dibiasakan untuk tidak pelit harta, pikiran dan tenaga meski dalam keadaan sulit. Orang Muhammadiyah dibiasakan untuk “enthengan” meluangkan waktu, untuk memikirkan umat.
Kalau pertanyaan kepada kontestan butuh jawaban dengan angka, maka pertanyaan yang bisa diajukan adalah “Berapa bantuan dan kebaikan yang sudah engkau perbuat untuk Muhammadiyah?”.
Mungkin sudah saatnya mengukur Kemuhammadiyahan seorang calon pimpinan bukan dengan janji-janjinya. Karena orang Muhammadiyah biasanya lupa menagih janji. Karena habis Pilpres dan Pilkada selesai, ya sudah ‘pung rampung’ melanjutkan ngurusi pengajian, sekolah, klinik, rumah sakit dan lain-lain.