PESAN SAKRAL

Oleh: Gus Zuhron 

Peristiwa ini terjadi sekitar 35 tahun yang lalu. Dalam sebuah kesempatan bapak memperlihatkan sebuah kitab kuno, dikatakan kuno karena memang secara fisik sudah berusia tua. Kitab itu bercover tebal warna cokelat kehitam-hitaman (bisa jadi terbuat dari kulit) dan di dalamnya adalah kertas berwarna cokelat dengan lembaran-lembaran tua yang sebagian telah lapuk oleh zaman.

Saat itu, bapak menjelaskan bahwa kitab ini adalah karya dari Mbah Buyut Kiyai Abdurrahman. Ada beberapa kitab karya Kiyai Abdurrahman yang diwariskan pada anak cucuknya. Diantaranya kitab fiqih, kitab tentang hadits mi’roj dan kitab yang menjelaskan mengenai silsilah keluarga. Semua ditulis dengan tangan, berbahasa Arab dan disertai penjelasan di setiap kalimat dengan bahasa Arab pegon.

Dalam kitab itu tertulis sangat jelas bahwa ada garis keturunan ke atas yang sambung dengan Rasulullah SAW. Melalui putrinya Fatimah dan cucu Nabi yang bernama Hasan. Jalur ini menjadikan para keturunannya disebut dengan kata “Syarif”. Sedangkan dari jalur Husein disebut dengan kata “Sayyid”. Di kalangan para ahli nasab faham betul bahwa kedudukan “Syarif” lebih tinggi daripada “Sayyid”.

Baca Juga:  BUKAN HIDUP MEWAH, TAPI HIDUP BERKAH

Perbincangan mengenai nasab yang sambung kepada Nabi saw. adalah obrolan biasa yang tidak pernah dibesar-besarkan. Apalagi pada saat itu bapak memberikan nasehat : “Gelar ini jangan pernah disandang dan diperlihatkan ke orang lain, khawatirnya justru akan melahirkan kesombongan. Karena sejatinya kemuliaan seseorang tidak ditentukan berdasarkan garis keturunan siapa, tetapi dari cara orang itu mengikuti jejak kebaikan ajaran-ajarannya”.

Hari ini umat dihebohkan dengan polemik nasab yang terus bergulir tak berujung. Gelar habib dilekatkan sebagai garis keturunan Nabi di luar Syarif dan Sayyid. Gelar itu di festivalisasi dan didramatisasi seolah-olah sangat sakral dan mempunyai kedudukan begitu istimewa di tengah umat. Habib menjadi industri yang magnet ekonominya sangat tinggi. Bahkan semakin tidak masuk akal ketika tersiar kabar bahwa jual beli sertifikasi habib dapat dilakukan. Hanya dengan membayar sejumlah Rupiah gelar akan segera didapatkan.

Baca Juga:  HAJI MABRUR SEPANJANG HAYAT

Perilaku memalukan yang masih terus diproduksi yang motifnya bisa jadi sebatas ekonomi. Tidak sepantasnya menjual nasab dengan memanfaatkan kondisi umat yang masih “gumunan” dengan beragam gelar spiritual. Alih-alih mencerdaskan dan mengajak mereka berbuat kebajikan. Justru yang terjadi adalah pembodohon sistemik dengan dalil agama yang menyesatkan.

Pesan sakral bapak rasanya masih cukup relevan untuk diterapkan. Nilai kebaikan seseorang tidak pernah ditentukan dari garis keturunan pendahulunya. Ini seperti nasehat Syekh Mustafa al-Ghulayani, ulama Libanon dalam kitab “Idzotun Nasihin”. Beliau mengatakan

‏ليس الفتى من يقول كان أبي، ولكن الفتى ها أنا ذ

“Bukan dikatakan seorang pemuda atau pemimpin jika bicaranya membanggakan kehebatan orang tuanya atau pendahulunya, tapi yang dikatakan dengan seorang pemuda atau pemimpin, yang bicara ini adalah Aku”

Semoga semua orang yang membaca tulisan ini senantiasa dijaga dalam kebaikan tanpa harus mengaku sebagai keturunan Super Hero tertentu.

Baca Juga:  MILKUL YAMIN

*) Red. Fordem.id – Rumah Sanggrahan : Kamis, 31 Oktober 2024, pukul 04.31 WIB bakda Subuh.

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *