Khafid Sirotudin
Pada jaman Khulafaur Rasyidin, pasca wafatnya Rasulullah saw, keadaan rakyat cukup baik. Tak terkecuali pada era Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. yang memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah (Irak). Kaum muslimin maupun kafir dzimmi, menerima kepemimpinan dan perlakuan yang adil dari khalifah. Salah satu kebiasaan Khalifah Ali yaitu gemar mengetuk pintu rumah-rumah yang dijumpainya dalam perjalanan menuju masjid ketika menjelang subuh.
Kebiasaan baik untuk mengetahui kondisi rakyat yang dipimpinnya.
Suatu kali, Ali melewati pemukiman Yahudi. Kaum ini termasuk kafir dzimmi sehingga mendapat perlindungan dari negara. Tiba-tiba Ali melihat ada sebuah baju perang yang dijemur di depan salah satu rumah. Ali pun menghampirinya dan memperhatikan baik-baik keadaan baju perang itu. Ali merasa yakin bahwa baju itu miliknya, setelah memperhatikan beberapa ciri khusus yang sangat dikenalinya. Sesudah shalat Subuh, Khalifah Ali kembali lagi ke rumah itu. Setelah mengetuk pintu, keluarlah si pemilik rumah.
“Wahai Yahudi, bagaimana keadaanmu?”, tanya Ali.
”Baik-baik saja wahai khalifah” jawabnya.
“Aku melihat baju perang yang sedang dijemur di depan rumahmu, apakah itu milikmu?”, tanya Ali sambil menunjuk baju yang dijemur.
”Baju itu dijemur di rumahku, tentu saja milikku” terang pria Yahudi itu.
“Tapi aku yakin baju itu milikku”, tegas Ali sambil menunjukkan ciri-ciri yang terdapat pada baju perang itu.
Orang Yahudi itu tetap bertahan pada argumentasinya. Kemudian Ali mengajaknya mendatangi Pengadilan saat itu juga.
Sampailah keduanya di gedung pengadilan. Dengan mata kepala sendiri pria Yahudi itu melihat tidak ada perlakuan khusus terhadap Sang Khalifah.
”Wahai khalifah, silakan mengantri” kata Hakim.
Ali dan pria Yahudi itu menuju ke barisan antrian paling belakang guna mendaftarkan pokok perkaranya. Tibalah giliran kasus Ali dan pria Yahudi digelar.
Di hadapan mereka, sang Hakim bertanya apa pokok persoalan yang diajukan.
“Saat aku sedang berjalan di depan rumah dia, aku mendapati baju perang sedang dijemur. Setelah mengamati baik-baik, aku yakin betul baju tersebut adalah kepunyaanku”, terang Ali.
”Bagaimana menurut engkau?” tanya Hakim pada pria Yahudi.
“Baju itu dijemur di rumahku wahai Hakim. Aku menyatakan baju perang itu milikku!” tegasnya.
”Apakah engkau bisa menghadirkan saksi-saksi yang dapat menunjukkan itulah baju perang milikmu?” tanya Hakim kepada Khalifah Ali.
“Yang tahu bahwa baju itu kepunyaanku adalah anak-anakku, Hasan dan Husain, serta istriku” jawab Ali ra.
”Wahai Ali, bukankah engkau tahu bahwa menurut hukum agama Islam, kesaksian anak atas orang tuanya atau orang tua atas anaknya tidak dapat diterima? Yang satu akan cenderung membenarkan yang lainnya. Kini yang tersisa dari saksi engkau adalah satu orang perempuan, yakni istrimu. Sementara hukum agama Islam mengharuskan, jika tidak ada dua orang saksi laki-laki, maka boleh diganti dengan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Adakah mereka itu?” tanya Hakim.
Khalifah Ali berpikir sejenak, kemudian berkata “Tidak ada”.
Dengan demikian, sang Hakim mengetuk palu sidang. Dia memutuskan, baju perang itu adalah milik si pria Yahudi. Sidang pun selesai.
Kebetulan sidang tersebut yang terakhir di jadwal hari itu. Sang Hakim-pun turun dari kursi kebesarannya, untuk kemudian menyalami Khalifah Ali. Berjalanlah keduanya meninggalkan ruang sidang. Sementara si pria Yahudi tadi berdiri kebingungan. Sebab belum pernah dalam hidupnya mengalami sistem peradilan dan akhlak kepemimpinan yang adil seperti itu.
Pria Yahudi-pun berlari menghampiri Khalifah Ali dan sang Hakim.
“Wahai tuan-tuan, tunggu sebentar”, sergah si Yahudi.
”Ada apa?”, tanya Khalifah Ali keheranan.
“Apakah sudah selesai pengadilan ini?” tanya dia.
”Tentu saja. Baju perang itu milikmu, meski aku yakin betul itu milikku. Tetapi hukum sudah memutuskan, ya sudah”, Ali menjelaskan disaksikan sang Hakim.
“Wahai Khalifah, sungguh baju perang itu milikmu. Aku mencurinya dua hari lalu”, terang si pria Yahudi.
”Mengapa tidak engkau ungkapkan tadi saat sidang di pengadilan?” tanya Sang Hakim.
Pria Yahudi itu lantas menuturkan bahwa sejak awal dia memperhatikan, hingga menyadari betapa mengagumkannya sistem hukum Islam dan kepemimpinan Ali. Sebagai orang yang lama tinggal di Kufah, dia dan kaumnya terbiasa dengan perilaku sewenang-wenang dari penguasa dan negara sebelumnya. Apalagi bagi rakyat dari kalangan yang tidak seiman dengan raja. Bahkan para hakim dan aparat saat itu wajib taat sebagai bawahan raja. Mereka selalu mengistimewakan raja diatas rakyat jelata.
Pria Yahudi itu sangat kaget ketika Hakim menolak kesaksian Khalifah Ali. Dia baru tahu bahwa di dalam hukum Islam, kesaksian diatur sedemikian rinci untuk memastikan keadilan ditegakkan. Tidak bisa seorang anak menjadi saksi atas orang tuanya, begitu pula sebaliknya. Karena Ali tidak mampu menghadirkan saksi-saksi lain yang diminta, sehingga keterangan sang Khalifah ditolak. “Maka saksikanlah tuan-tuan sekalian : Asyhaduan laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah”, pria Yahudi tersebut mengikarkan dua kalimat syahadat. Khalifah Ali dan sang Hakim-pun bertakbir.
Keadilan
Kata ‘adl (adil) terulang lebih dari 28 kali di dalam al-Quran, dengan berbagai bentuk sesuai konteknya. ‘Adl atau keadilan setidaknya mempunyai makna : sama atau persamaan dalam hak, seimbang, memperhatikan dan memberikan hak kepada individu dan setiap pemiliknya, serta keadilan itu pada hakekatnya dinisbatkan kepada rahmat dan kebaikan Allah Swt sebagai Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana.
Lawan kata adil adalah zalim. Maknanya setiap ketidakadilan pada hakekatnya merupakan kezaliman. Menurut guru ngaji yang pernah mengajari kami ilmu tafsir, bahwa keadilan atau bersikap adil itu merupakan puncak akhlak seseorang dalam melaksanakan syariat agama di dalam kehidupan nyata. Seseorang yang telah mampu bersikap adil pada sesama dan alam semesta, pada hakekatnya dia telah menjadi seorang yang baik/muhsin (ihsan). Iman laksana sumber mata air, Islam laksana aliran sungai, serta ihsan laksana muara. Sebuah tautan integral komprehensif dari tiga pokok inti ajaran agama Islam : Rukun Iman (Aqidah), Rukun Islam (Syariat) dan Rukun Ihsan (Akhlak).
Saya teringat salah satu firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 8, yang artinya :
”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Selaras dengan Firman Tuhan dalam Qs. Al-Qalam ayat 4, artinya :
”Sesungguhnya engkau (Muhammad saw.) benar-benar berbudi pekerti (berakhlak) yang agung”. Sebagaimana sebuah riwayat menyatakan ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (HR. Baihaqi dari Abu Hurairah).
Menegakkan keadilan adalah akhlak yang mulia. Apabila keadilan mampu dihadirkan dalam kehidupan nyata, maka akan dapat mewujudkan sebuah ketertiban umum dan keadilan sosial dalam semua tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tulisan ini saya selesaikan sambil menyaksikan siaran langsung persidangan Mahkamah Konstitusi atas perkara PHPU hasil Pemilu 2024 yang menghadirkan 4 Menteri Kabinet Indonesia Maju. Semoga rasa keadilan masih ada di dalam kehidupan bangsa ini. Nun, walqalami wama yasthurun.
Wallahu’alam
Tegalmulyo, 5 April 2024