Margo Hutomo
Adl/al-‘Adl (عَدْل\اَلْعَدْل) juga merupakan salah satu al-Asma’ul Husna, yang menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengandung arti “kesempurnaan”. Demikian halnya jika dinyatakan Allah adalah Al-‘Adl (اَلْعَدْل = keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang sempurna.
Keadilan (a’dl) menurut Islam merupakan dasar dari setiap pribadi dan masyarakat Muslim yang sejati, seperti terjadi di masa lampau dan seharusnya di masa mendatang. Oleh karena itu, seorang muslim yang imannya benar dan berfungsi dengan baik, ia akan selalu berlaku adil terhadap sesamanya. Hal ini tergambar dengan sangat jelas dalam surat diatas.
Keadilan adalah perbuatan yang paling taqwa atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia.
Dalam Al-Quran, keadilan dinyatakan dengan istilah ‘adl dan “qist”. Pengertian adil dalam Al-Quran sering terkait dengan sikap seimbang dan menengahi. Dalam semangat moderasi dan toleransi, juga dinyatakan dengan istilah “wasath” (pertengahan).
“Wasath” adalah sikap berkeseimbangan antara dua ekstrimitas serta realitas dalam memahami tabiat manusia, baik dengan menolak kemewahan maupun aksetisme yang berlebihan. Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya dengan amanat (amanah, titipan suci dari Tuhan) kepada manusia untuk sesamanya. Khususnya amanat yang berkenaan dengan kekuasaan pemerintahan. Sebab, kekuasaan pemerintahan adalah sebuah keniscayaan demi ketertiban tatanan hidup berbangsa dan bernegara.
Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah sikap patuh dari banyak orang kepada penguasa. Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Namun, kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah yang mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan.
Ayat diatas juga mencerminkan beberapa prinsip berikut :
Pertama, berlaku amanah.
Setiap orang mampu menjaga kehidupan materinya dan bekerja untuk menghidupi keluarga. Seorang mukmin tidak diperkenankan untuk berlaku curang, bohong dan khianat.
Kedua, berlaku adil dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan manusia.
Ibnu Taimiyah dalam komentarnya mengenai ayat di atas menyebutkan, “Wahai para pemimpin Muslim, Allah memerintahkan kepada kalian untuk berlaku amanah dalam kepemimpinan kalian, tempatkanlah sesuatu pada tempat dan tuannya, jangan pernah mengambil sesuatu kecuali Allah mengizinkannya, jangan berbuat zalim, berlaku adil adalah keharusan dalam menetapkan keputusan hukum di antara manusia. Semua ini adalah perintah Allah yang ditetapkan dalam Al Quran dan As Sunnah. Jangan pernah melanggarnya, karena itu perbuatan dosa.”
Imam Qurthubi menyampaikan, “Ayat diatas berlaku umum untuk semua manusia yang menjadi pemimpin di kalangan Islam. Keadilan dalam distribusi pendapatan menghancurkan setiap gerakan kezaliman dalam pemerintahan. Seorang pemimpin Muslim harus bisa berlaku amanah setiap menerima titipan, menyampaikan kesaksian dan lain sebagainya. Perintah untuk berlaku adil sama halnya dengan perintah shalat dan ibadah lainnya.”
Mengenai penegakan keadilan, Ibnu Taimiyah memperingatkan bahwa seorang pemimpin yang adil akan mampu menegakkan negara walaupun ia kafir. Namun, seorang pemimpin yang zalim malah akan menghancurkan negara walaupun ia Muslim sekalipun.
Hal senada disampaikan penulis buku “Al-Hasabah” : “Negara akan tetap tegak berdiri dengan keadilan dan kekufuran, namun negara akan segera hancur dengan kezaliman dan Islam”.
Untuk itu, sudah merupakan kepentingan negara Islam berlaku adil untuk warga Muslim ataupun pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya, tak terkecuali walau bukan dari golongan Muslim sekalipun. Tidak dapat dipungkiri, Al-Quran meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan manusia, baik secara kolektif maupun individual.
Dari beberapa pengertian kata ‘adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi “Keadilan” selalu mendapat tempat di dalam Al-Qur’an, sehingga dapat dimengerti jika kelompok Mu’tazilah dan Syi’ah memandang penting untuk menempatkan keadilan sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah dalam keyakinan mereka. Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam Al-Qur’an.
Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup makro kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain.
Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan Al Qur’an itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Dimana pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak.
Dengan demikian, wawasan keadilan dalam Al-Qur’an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu sendiri.
Sebab sebuah kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan Al- Qur’an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif.
Hamzah Yakub membagi keadilan menjadi dua bagian, yaitu : Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidakadilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia (Nurcholish Majid).
(Bersambung)