REFLEKSI POLITIK RAKYAT DI HARI KEMERDEKAAN

Oleh: Rudi Pramono – (Ketua MPI PDM Wonosobo)

Fordem.id – Sepuluh tahun periode kepemimpinan nasional yang dulu kita berharap banyak dari sosok sederhana dan merakyat ternyata pada akhirnya harus pupus dan kandas.

Sebuah kegagalan, kekurangan dan kesempurnaan adalah hal wajar, tidak memuaskan banyak orang juga biasa, dinamika politik itu juga lumrah diberbagai negara terjadi, pembangunan yang belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat bisa kita terima, kesejahteraan yang belum merata itu juga biasa, dimanapun di dunia ini selalu ada persoalan yang datang silih berganti, semua wajar, lumrah apalagi kalau itu faktor teknis, manajemen dan implementasi lapangan yang kadang karena keterbatasan pengetahuan dan kekurangan pengalaman kita.

Apa sesungguhnya yang kita persoalkan adalah persoalan mendasar yang menjadi dasar kehidupan ini, yaitu soal nilai, etika dan moral para penyelenggara negara yang rapuh, lemah dan runtuh. Ketika etika dan norma itu sudah hilang maka hawa nafsu menjadi mahkota, kekuasaan disalahgunakan, aturan dibuat atau direvisi sesuai kepentingannya, hukum jadi alat politik, politikpun menjadi nir etis dan pragmatis.

Baca Juga:  Tahun Baru Hijriah Moment Refleksi dan Perbaikan Diri

Apalagi ketika tingkat elektoral sangat tinggi membangkitkan nafsu melanggengkan kekuasaan, berkhianat terhadap partai pengusung, dinasti politik, kuasai para pejabat, aparat dan ambil alih partai lawan dengan politik sandera, balas budi, lumpuhkan legislatif dan yudikatif, berikan demokrasi dan kebebasan tapi tak pernah dipedulikan, manipulasi demokrasi memunculkan wajah baru otoritarianisme elektoral.

Elit sibuk dengan dirinya sendiri, rakyatpun terlupakan, amanah untuk mencerdaskan dan mensejahterakan rakyat tinggal harapan kosong. Kemiskinan dan kebodohan bisa jadi dilestarikan karena kondisi yang menguntungkan untuk merebut suara dengan amplop dan sembako.

Baca Juga:  SLAMETAN "DUN-DUNAN" KAPAL

Inilah elektabilitas yang dicari untuk meraih kekuasaan yang seolah telah menjadi berhala, ‘Tuhan’ yang disembah. Anak, istri keluarga, harta benda, lebih dicintai dari Allah dan Rasul-Nya. Apa yang selama ini di teorikan, didiskusikan dan diucapkan dengan berbusa busa tentang visi, misi, ide, gagasan, program, etika, nilai, aturan, ilmu, pendidikan politik, kualitas demokratis seketika lenyap seperti debu yang terhempas angin oleh seabrek pembenaran yang sejatinya mengingkari intelektualitas dan moralitas ruhaniyah yang telah bersemayam sebagai fitrah nur ilahi

Subyektifitas telah menghilangkan obyektifitas, nafsu telah menghilangkan akal sehat, nalar telah termanipulasi, hati telah beku, kemunafikan itu normal dalam politik, ada panggung depan ada panggung belakang, kebenaran adalah milik mereka yang kuasa.

Baca Juga:  LEMBAGA KEBENCANAAN MUHAMMADIYAH SEBAGAI METAMORFOSA PKO

Apa yang ada dalam pikiran para politisi hebat itu selain kemenangan yang sekejap, ambisi kekuasaan yang melampaui batas, lupa bahwa kekuasaan yang menyimpang akan diambil alih oleh Sang Pemilik Kuasa, apalah artinya semua itu ketika kenikmatan dunia ibarat setetes air di tengah samudra.

Inilah refleksi politik rakyat yang tak berdaya namun rasa cintalah yang mendasari dan karenanya aku akan mencintaimu Indonesia dengan kesabaran, semoga Allah memberikan ampunan dan keberkahan

Selamat Hari Kemerdekaan ke 79 Indonesiaku

Wallahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *