Perempuan dalam sebuah keluarga berperan sebagai istri, ibu juga sebagai anak, di mana memiliki hak-hak yang harus diperhatikan dan dipenuhi. Banyak problem yang dihadapi para perempuan kadang ada yang dapat diselesaikan secara baik, banyak juga yang tidak dapat terselesaikan, sehingga membutuhkan pihak lain untuk terlibat menyelesaikannya. Khususnya, dalam masalah perkawinan untuk memastikan prinsip keadilan dalam hubungan suami istri sebab keadilan merupakan salah satu nilai penting dalam Islam yang mencakup kesetaraan, keadilan, dan keseimbangan guna menciptakan harmoni kebahagiaan, dan keberlangsungan rumah tangga yang sejahtera.
Dalam pemenuhan hak itu ada peralihan hukum fiqih Islam (munakahat) ke dalam fiqih negara, setidaknya ada 3 prinsip yang menjadi dasar kebijakan terhadap hak-hak perempuan, yakni: Prinsip dasar pertama, universalitas hukum Islam, di mana syariat Islam merupakan syariat abadi.
Keabadiannya memiliki dua makna yaitu, makna pertama ajarannya bersifat tetap, tidak berubah yang berupa ajaran prinsip dasar seperti keadilan, persamaan hak, demokrasi, kemanusiaan, moral dan lainnya. Makna kedua, ajarannya bersifat terbuka untuk perubahan, yaitu ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sangat mungkin dilakukan interpretasi dengan mempertimbangkan konteks yang ada.
Prinsip dasar Kedua, adalah keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan, di mana dalam hukum Islam antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh perlakuan yang adil dalam seluruh aspek kehidupan. Prinsip dasar ketiga kepastian hukum. Melalui kepastian hukum, setiap orang mampu memperkirakan apa yang akan ia alami apabila ia melakukan suatu tindakan hukum tertentu.
Progresivitas hak perempuan dalam keluarga Islam di Indonesia bisa kita lihat di antaranya: (1) Usia minimal perkawinan yaitu 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan. (2) Persetujuan calon mempelai perempuan, hal ini harus dilakukan secara tegas sebelum akad nikah dilangsungkan. (3) Izin poligami, yang salah satunya harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. (4) Harta bersama tanpa membedakan siapa yang bekerja dan terdaftar atas nama siapa. (5) Hak perempuan pascacerai antara lain: memperoleh mut’ah, (suatu barang atau uang yang diberikan suami pada istri sebagai bekal hidup), nafkah secara penuh selama masa iddah, hak menolak rujuk. Dan progres hak perempuan yang ke (6) Syibhul ‘Iddah bagi laki-laki, yaitu pernikahan dalam masa iddah istri yang merupakan ijtihad dari kementerian agama yang memiliki makna menangani atas maraknya praktik poligami terselubung, kekosongan hukum terhadap pernikahan baru bagi suami dalam masa iddah istri.
Untuk itu, dalam melakukan reformulasi hukum keluarga menjadi hukum negara ditawarkan tiga perspektif, yakni rasionalisme (aqliyah) yang menekankan pentingnya menggunakan logika dan pemikiran yang objektif dalam mengambil keputusan hukum. kedua, antroposentrisme (insaniyah) yang menempatkan manusia sebagai pusat perhatian, pengakuan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai fokus utama dan ketiga, nasionalisme (wathaniyah) untuk menjaga kesatuan, keadilan dan kesejahteraan seluruh warga negara. Dengan ketiga prinsip ini akan melahirkan hak-hak perempuan tetap terjaga secara logis serta menjadi bagian atas pemenuhan hak-hak kemanusiaan dan kewarganegaraan.
Referensi
Mesriani. (2024). Telaah dari Pembaharuan Hak Perempuan dalam Keluarga: Keberanjakan dari Fikih Mazhab ke dalam Fikih Negara di Indonesia. dalam buku Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar 8 Mei 2024 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hlm. 189-236
*) Layly Atiqoh, M.Pd, Guru PAI SMP Negeri 7 Salatiga