Wahyudi Nasution
Kali ini Pak Bei merasa kedatangan tamu istimewa. Tamu agung. Sanusi namanya, seniornya di dunia usaha konveksi. Tiba-tiba saja Sanusi datang tanpa “ngabari” sebelumnya.
Sudah lama Pak Bei tidak ketemu dengan Sanusi, satu Dasa Warsa, sejak dia meninggalkan dunia konveksi dan beralih usaha property. Mungkin karena kesibukan masing- masing di dunia usaha yang berbeda, kami jadi jarang bertemu.
“Tiba-tiba habis Ashar tadi aku teringat kopi Pak Bei. Sudah lama sekali gak ngopi di sini,” kata Sanusi membuka pembicaraan.
“Alhamdulillah, matur nuwun mas Sanusi kangen kopiku. Tunggu sebentar ya“, jawab Pak Bei, lalu menuju dapur untuk membuatkan kopi spesial bagi Suhu- nya di usaha konveksi itu. Tak berapa lama Pak Bei sudah kembali ke teras sambil membawa penampan dengan 2 gelas kopi Semendo andalannya.
“Gimana, masih jalan konveksimu?,” tanya mas Sanusi sambil menuangkan kopi panas di lepek.
“Alhamdulillah masih mas, harus jalan terus.”
“Ada berapa karyawanmu sekarang?”
“Masih ada 25 Mas”, jawab Pak Bei.
“Masih lumayan itu. Sentra konveksi di kampungku sudah lama bubar. Tidak bisa bertahan. Bangkrut semua.”
“Memang berat mas, semakin berat. Tapi karena ini sudah menjadi penghidupan banyak orang, ya harus kami pertahankan.” terang pak Bei sambil menghisap kretek dengan pipa gading kesukaannya.
“Ya pasti berat. Bagaimana mungkin usaha-usaha kecil bermodal terbatas harus berhadapan dengan pabrik besar bermodal besar dan didudukung penuh Pemerintah?”, kata Mas Sanusi. Lantas dia menceritakan alasannya dahulu beralih usaha.
Dikenangnya dulu sekitar tahun 2011- 2012, ketika Pemerintah Provinsi agresif menggaet para pemilik pabrik garment di Jabodetabek dan Bandung Raya agar mau berinvestasi dan merelokasi pabriknya ke Jateng : Kabupaten Semarang dan eks- Karesidenan Surakarta.
Berbagai kemudahan dan fasilitas “karpet merah” disediakan. Mulai pengadaan lahan, pembangunan pabrik dan “tetek-bengek” perizinan. Bahkan rekruitmen tenaga kerja-pun difasilitasi penuh APBD Provinsi Jawa Tengah.
“Tentu Pak Bei masih ingat, waktu itu Dinas Perindustrian Provinsi mendirikan Balai Latihan Kerja yang sangat besar, lalu merekrut puluhan ribu lulusan SMA/SMK untuk dilatih menjadi calon Operator Mesin Jahit, lalu ditempatkan di pabrik-pabrik garment relokasi itu”,
“Iya, Mas. Saya masih ingat. Bahkan dulu sempat diminta nyarikan lulusan SMK untuk dikirim ke sana”, kenang mas Sanusi ketika bisnis konveksi.
“Pemerintah seolah lupa peran penting usaha konveksi skala UMKM yang bertebaran di semua daerah. Usaha Kecil itulah yang selama ini berjasa besar menghidupkan perekonomian daerah. Puluhan ribu tenaga kerja terserap di berbagai usaha konveksi rumahan. Dulu, hampir semua barang di Pasar Klewer produk konveksi rumahan, lho”.
“Iya benar, Mas. Sekarang lebih banyak barang dari Tanah Abang dan produk Impor dari China“, Pak Bei menimpali.
“Kita ini sebenarnya! tidak anti-investor kan, Pak Bei?” tanya Sanusi.
“Iya benar, Mas. Kita dukung setiap upaya untuk kebaikan masyarakat“.
“Tapi sejak awal saya sudah melihat memang tidak ada itikad dan komitmen pemihakan kepada usaha kecil, Pak Bei. Investor “disubyo-subyo” (disanjung berlebihan) dan digelarkan karpet merah. Sebaliknya, usaha kecil justru digilas dan dilemahkan. Itulah alasannya dulu saya pilih langsung ganti usaha saja”, mas Sanusi menjelaskan.
“Sebenarnya maksud Pemerintah baik lho, Mas. Menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya dan menambah devisa sebesar-besarnya“, pak Bei mencoba menimpali dari sisi lain.
“Maksud baik tapi tanpa regulasi yang bagus dan komprehensif, hasilnya cuma ketimpangan seperti sekarang ini, Pak Bei. Keberadaan UMKM tidak dilindungi. Mereka jadi kesulitan meregenerasi tenaga kerjanya. Anak-anak muda lulusan sekolah semua tersedot pabrik. Yang tersisa di usaha rumahan tinggal tua-tua, dan sudah menurun produktivitasnya”, mas Sanusi menjelaskan
“Iya benar sekali, Mas”, jawab Pak Bei kepada seniornya itu.
“Kesulitan cari tenaga kerja muda kulihat bukan hanya terjadi pada usaha konveksi saja. Di sentra-sentra usaha furniture, pandai besi, apalagi sektor pertanian, semua juga mengalami krisis tenaga kerja”.
“Tapi UMKM yang justru disalahkan oleh Pemerintah lho, Mas. Dianggap kurang responsif pada perkembangan jaman. Tidak memodernisir peralatan dan manajemen usaha“, kata Pak Bei
“Ya memang. Harus diakui, umumnya pelaku usaha terlambat mengantisipasi perubahan jaman. Tapi menurutku, seharusnya itu tugas Pemerintah, Pak Bei. UMKM harusnya didampingi, bukan dilepas agar bertempur ‘head to head’ melawan pabrik besar dengan modal super besar dan peralatan modern. Ya pasti ‘keok’. Seharusnya UMKM diproteksi agar tetap hidup. Tapi masalahnya memang tidak ada komitmen kesana. Ya sudah, jebol semua jadinya”.
“Situasi ini sekarang juga dialami teman- teman pelaku usaha penggilingan padi mas. Mereka tergilas pabrik beras skala besar dan menguasai pembelian gabah dari petani. Taman- teman rice-mill banyak yang tutup usahanya“, tegas Pak Bei.
“Iya saya juga mengikuti berita itu. Hancur-hancuran semua. Belum lagi kasus di Pulau Rempang Batam itu. Runyam betul. Ini ujian berat bagi Pemerintah, mau terus ‘nyubyo-nyubyo‘ (menyanjung setinggi gunung) investor atau mau melindungi segenap rakyat dan tumpah darah. Beraaat…”, kata Mas Sanusi sambil menarik nafas panjang.
Kumandang adzan Maghrib mulai terdengar bersahutan dari beberapa masjid sekitar kampung Pak Bei. Obrolan dua sahabat-pun berakhir. Keduanya segera bergegas ke masjid depan nDalem Pak Bei untuk siap-siap ikut shalat berjamaah.
Klaten, Rabu 13 September 2023
#SerialPakblBei
#Ketua LP-UMKM PDM Klaten, MPM PP Muhammadiyah.