510.569.974.050

Oleh: Khafid Sirotudin (Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM Jateng 2015-2019)

Apa yang ada di batin dan pikiran kita ketika membaca judul ‘ANGKA Duabelas Digit’ diatas.

Kalo saja dibelakang angka itu dikasih ‘satuan’: “meter persegi”, mungkin kita akan langsung berpikir tentang luas lahan pertanian yang mengalami konversi, luas kebakaran hutan dan lahan, ataupun luas lautan yang terpapar limbah B3 dan sampah plastik. Barangkali pula kita terbayang soal luas kawasan hutan yang mengalami gundul’ di suatu negara.

Apabila di belakang angka tersebut diberi satuan “kilogram” mungkin kita akan segera berpikir angka importasi berbagai produk pangan nasional, produksi tambang batubara di suatu pulau, ataupun volume sampah organik dan non organik di suatu provinsi.

Namun angka yg kami jadikan judul tulisan ini, lebih tepat dikasih satuan “Rupiah/IDR” di depannya.
Sehingga menjadi Rp 510.569.974.050, dan dibaca “Lima Ratus Sepuluh Milyar, Lima Ratus Enam Puluh Sembilan Juta, Sembilan Ratus Tujuh Puluh Empat Ribu, Lima Puluh Rupiah”.

Angka sebesar itu adalah besarnya klaim untuk BPJS Kesehatan per 31 Oktober 2019, dari 34 RSMA (Rumah Sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah) plus 3 Klinik Utama milik Muhammadiyah se Jawa Tengah. Menurut informasi data di MPKU PWM Jateng, beberapa RSMA telah menerima pencairan klaim terakhir dari BPJS pada bulan Mei dan Juni 2019. Kami yakin sampai hari ini angka tersebut sudah menembus 511 Milyar Rupiah.

Baca Juga:  SIMBOK DAN TUKANG SURVEY

Kapankah klaim sebesar itu dibayarkan?
Semoga tidak terlalu lama agar semua pelayanan kesehatan oleh RSMA kepada masyarakat Jawa Tengah bisa berjalan dengan baik dan lancar. Amin.

3 Pilar Program Indonesia Sehat

Pertama, ‘Paradigma Sehat’ yaitu suatu pola pikir di masyarakat bahwa dalam melakukan segala hal harus mempertimbangkan resiko-resiko kesehatan.

Kedua, ‘Upaya Meningkatkan Fasilitas Layanan Kesehatan Masyarakat’. Mulai dari fasilitas kesehatan (faskes) Primer, Lanjutan maupun Rujukan. Permasalahan yang dihadapi diantaranya terkait distribusi tenaga medis, khususnya dokter spesialis, sub spesialis dan super spesialis.

Pemerintah cq Depkes selama periode 2014-2019 fokusnya lebih banyak pada Pelayanan Primer terutama promotif dan preventif ketimbang kuratif.

Ketiga, ‘Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS)’.
Menurut UU no 24 tahun 2011, BPJS adalah satu-satunya penyelenggara jaminan kesehatan masyarakat oleh pemerintah. Dimana sebelumnya ada ASKES, ASABRI, ASKESDA, dan lainnya.

BPJS menyangkut “semua orang, semua penyakit dan semua kondisi”. Termasuk WNA yang tinggal di Indonesia lebih dari 6 bulan.

Konsep dasar BPJS adalah “yang mampu membantu yang tidak mampu atau miskin”. Tetapi, barangkali faktanya malah terbalik, ‘yang miskin membantu yang kaya’.

Masalah ‘kesadaran masyarakat’ untuk bergotong royong (berjamaah) menjadi masalah mendasar, disamping adanya masalah “defisit BPJS”. Padahal jenis layanan BPJS jauh diatas pelayanan asuransi kesehatan milik perusahaan swasta manapun.

Baca Juga:  Ketahanan Keluarga dan Degradasi Moral Politik (Bagian Kedua)

Kalo asuransi swasta, besarnya premi kesehatan bagi orang yang berusia lanjut (di atas 60 tahun) tentu berbeda dengan mereka yang berusia remaja dan dewasa. Namun premi di BPJS mengalineasikan umur, resiko penyakit dan pertimbangan-2 teknis yang biasa dipakai oleh asuransi swasta untuk menentukan besarnya premi (kewajiban peserta) beserta jenis pelayanan dan kelas pelayanan kesehatan yang ditawarkan (hak peserta asuransi).

Menilik Fakta di Daerah

Ada 3 jenis peserta BPJS, yaitu:

  1. PBI (Penerima Bantuan Iuran) atau Premi dibayar Pemerintah. Yang dikhususkan untuk kaum dhuafa’, keluarga fakir/miskin dan masyatakat tidak mampu.
  2. Non PBI yakni untuk ASN, TNI/Polri dan Pekerja Penerima Upah.
  3. Mandiri bagi masyarakat yang tidak masuk kriteria PBI dan Non PBI.

Sungguh menarik perhatian kami terkait Data Peserta BPJS di kabupaten Kendal tahun 2019. Dimana terdapat 400.000-an warga Kendal yg mendapat ‘Kartu Indonesia Sehat’ sebagai peserta BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran). Kami sering bergurau dengan istilah “KISMis (Kartu Indonesia Sehat dan Miskin)”.

Dan paradoksnya, masih banyak masyarakat Kendal yang membawa SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) ketika berobat ke RSUD Kendal atau ke Puskesmas Rawat Inap.
Apakah betul ‘angka kemiskinan riil’ kabupaten Kendal begitu tinggi dan hampir 40 persen penduduknya terkategori miskin?.

Baca Juga:  IPM Purbalingga Kian Berdaya dalam Menghadapi Momentum Indonesia Emas 2045

Permasalahan di kalangan Peserta Mandiri BPJS yakni banyaknya tunggakan pasien mandiri yang belum/lalai/tidak membayar premi. Boleh jadi mereka membayar premi untuk sekedar ‘mendapatkan hak pelayanan dan tindakan medis’ yang membutuhkan biaya tinggi. Namun setelah sembuh mereka melalaikan kewajiban untuk membayar iuran/premi BPJS. Keadaan ini pernah dijumpai pada beberapa orang yang kebetulan kami kenal. Agaknya kondisi inilah yang kemudian memantik ide perlunya ‘debt collector’ bagi para penunggak premi BPJS.

Namun menurut pendapat kami tidaklah perlu BPJS mengadakan debt collector untuk para penunggak premi bagi peserta mandiri. Asal disosialisasikan dengan baik dan benar akan hak dan kewajiban sebagai peserta mandiri BPJS.

Kami yakin secara ‘revolutif’ akan muncul kesadaran baru manakala mereka menemui hambatan dan kendala untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, apabila mereka ‘lalai/lupa/sengaja’tidak membayar premi atau iuran BPJS.

Sebagaimana kesadaran masyarakat pemilik kendaraan bermotor untuk membayar pajak dan retribusi daerah, SWDKLLJ dan biaya STNK setiap tahun, agar terhindar dari sanksi tilang oleh petugas.

Wallahualam

*) Red. Fordem.id – Tritisan CT Weleri, 9 Nopember 2019

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *