Alvin Qodri Lazuardy
Perintah “iqra” atau membaca, merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw., yang memiliki makna mendalam dan relevansi luar biasa bagi umat manusia. Meskipun perintah ini ditujukan kepada Nabi yang tidak bisa membaca atau menulis, makna “iqra” melampaui sekadar aktivitas membaca teks tertulis. Perintah ini mengandung filosofi mendalam yang membimbing umat manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Makna “Iqra”
Secara etimologis, “iqra” berasal dari kata “qara’a” yang berarti “menghimpun”. Ini menunjukkan bahwa membaca dalam konteks “iqra” tidak hanya merujuk pada teks tertulis, tetapi juga mengumpulkan informasi, pengetahuan, dan hikmah dari berbagai sumber. “Iqra” dapat diterjemahkan menjadi tindakan seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, dan memahami. Semua ini bertujuan untuk menghimpun pengetahuan dan wawasan.
Perintah untuk Semua Manusia
Walaupun perintah “iqra” pertama kali diberikan kepada Nabi Muhammad saw., sebenarnya perintah ini berlaku untuk seluruh umat manusia sepanjang masa. “Iqra” menjadi kunci bagi manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan membaca dan mengumpulkan pengetahuan, manusia dapat lebih memahami dirinya, alam semesta, dan Sang Pencipta.
Objek Bacaan dalam “Iqra”
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa yang harus dibaca? Nabi Muhammad saw. bertanya, “Ma aqra’?” atau “Apa yang harus saya baca?” setelah berulang kali Jibril mengucapkan perintah tersebut. Tidak ada penjelasan eksplisit dalam wahyu pertama mengenai objek bacaan ini, sehingga membuka ruang bagi berbagai penafsiran.
Para ahli tafsir memiliki pandangan berbeda tentang apa yang harus dibaca. Beberapa berpendapat bahwa perintah ini mencakup segala sesuatu di alam semesta, baik yang tersurat maupun tersirat. Alam semesta dan segala isinya dianggap sebagai “kitab terbuka” yang dapat dibaca dan dipahami oleh manusia untuk mendapatkan hikmah dan pengetahuan. Selain itu, wahyu Ilahi, baik yang telah diturunkan dalam kitab-kitab suci sebelumnya maupun dalam Al-Quran, juga menjadi objek utama yang harus dibaca dan dipahami.
Relevansi dan Implikasi
Pemahaman mendalam tentang perintah “iqra” memiliki implikasi besar bagi kehidupan manusia. Pertama, ia menekankan pentingnya pendidikan dan pencarian ilmu sebagai fondasi utama kehidupan. Dengan ilmu, manusia dapat memahami hukum-hukum alam, memperbaiki kualitas hidup, dan berkontribusi positif bagi kemajuan peradaban.
Kedua, perintah ini mengingatkan bahwa pencarian ilmu tidak terbatas pada bacaan tekstual saja. Pengamatan, penelitian, dan refleksi terhadap alam semesta serta pengalaman hidup juga merupakan bentuk pelaksanaan perintah “iqra”. Hal ini mendorong manusia untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar dan lebih bijak dalam mengambil keputusan.
Dengan demikian, filosofi “iqra” mengajarkan bahwa membaca adalah jalan untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi, pemahaman yang lebih dalam, dan kebijaksanaan yang lebih luas. Perintah ini adalah ajakan untuk terus belajar, mengeksplorasi, dan memahami, demi mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan seimbang antara dunia dan akhirat.
Peradaban oleh “Makhluk Membaca”
Perintah membaca adalah perintah yang paling berharga bagi umat manusia. Membaca bukan hanya sekadar aktivitas, tetapi merupakan jalan untuk mencapai kemanusiaan yang sempurna. Peradaban yang maju dan beradab hanya bisa dibangun oleh masyarakat yang gemar membaca. Oleh karena itu, “membaca” adalah syarat utama untuk membangun peradaban. Semakin luas wawasan dan pembacaan suatu masyarakat, semakin tinggi pula peradabannya. Sebaliknya, kurangnya minat baca dapat menghambat perkembangan peradaban itu sendiri. Maka, tidak mengherankan jika “manusia” didefinisikan sebagai “makhluk membaca”.
Sejarah umat manusia dibagi dalam dua periode utama: sebelum penemuan tulis-baca dan sesudahnya, sekitar lima ribu tahun lalu. Penemuan tulis-baca merupakan titik balik penting dalam sejarah peradaban manusia. Dengan ditemukannya tulis-baca, manusia mulai mencatat dan mengumpulkan pengetahuan, meninggalkan kegelapan ketidaktahuan. Sejak penemuan tulis-baca, tidak kurang dari 27 peradaban besar telah muncul, dari peradaban Sumeria hingga peradaban Amerika modern. Setiap peradaban baru mempelajari yang sebelumnya melalui tulisan yang ditinggalkan. Kemampuan tulis-baca memungkinkan manusia untuk tidak memulai dari nol dalam setiap upaya peradaban baru, tetapi melanjutkan dan mengembangkan pengetahuan yang ada.
Manusia memiliki dua fungsi utama di bumi: sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah fil ardhi (wakil Tuhan di bumi). Kedua fungsi ini terkait dengan potensi keilmuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Keilmuan ini adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan pelaksanaan kedua tugas tersebut. Dengan ilmu yang diajarkan Allah kepada manusia (Adam), manusia memiliki kelebihan dari malaikat yang awalnya meragukan kemampuan manusia untuk menjadi khalifah di bumi. Dengan ibadah yang didasari ilmu yang benar, manusia menduduki tempat terhormat, sejajar bahkan dapat melebihi malaikat.
Ilmu, baik yang kasbiy (diperoleh) maupun yang ladunni (abadi), tidak dapat dicapai tanpa qira’at (bacaan) dalam arti luas (membaca, menelaah, mengkaji, dan sebagainya). Kekhalifahan menuntut hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lain, dengan alam, serta dengan Allah. Kekhalifahan juga menuntut kearifan. Dalam kaitannya dengan alam, kekhalifahan mengharuskan bimbingan terhadap makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Untuk ini, dibutuhkan pengenalan terhadap alam raya, yang hanya bisa dicapai dengan qira’at (membaca, menelaah, mengkaji). Oleh karena itu, iqra’ (bacalah) menjadi syarat utama keberhasilan manusia.
Dengan membaca, pintu-pintu pengetahuan terbuka, memungkinkan manusia untuk memahami alam semesta, dirinya, dan Tuhan. Membaca tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga kebijaksanaan yang diperlukan untuk menjalankan perannya sebagai khalifah di bumi. Perintah membaca bukan hanya untuk mengumpulkan pengetahuan, tetapi juga untuk merenung, memahami, dan menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Membaca adalah aktivitas esensial untuk pengembangan diri dan peradaban manusia.
Peradaban yang dibangun oleh “makhluk membaca” adalah peradaban berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaan. Dengan membaca, manusia mampu melampaui batas ruang dan waktu, belajar dari masa lalu, dan membangun masa depan yang lebih baik. Masyarakat yang menghargai membaca adalah masyarakat yang siap berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Inilah inti dari peradaban yang dibangun oleh makhluk yang terus membaca dan belajar.
Sumber:Membumikan Al-Qur’an, Prof. Quraish Shihab, Mizan (1993). hal. 167-171
Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd/ Pengasuh Pesantren At-Tin UMP, Kader Muhammadiyah