*TIDAK ADA JALAN KELUAR*
Oleh: Gus Zuhron
Fordem.id – Ada yang menarik dari pidato Presiden Prabowo Subiyanto saat membuka Sidang Tanwir Muhammadiyah di Kupang Nusa Tenggara Timur. Saat itu, Prabowo menunjukkan ekspresi wajah gembira, sesekali tampak kagum dan diselingi dengan candaan. Apalagi pada saat menyebut nama Budiman Sujatmiko yang ternyata alumni SMA Muhammadiyah di Yogyakarta dan pernah aktif di salah satu organisasi otonom Muhammadiyah.
Presiden saat itu mengatakan “ternyata orang Muhammadiyah itu ada dimana-mana, ada yang di kiri, di kanan dan juga di tengah”. Nama Budiman Sujatmiko tidak asing di kalangan para aktivis pergerakan. Mereka yang hidup se zaman dengan Reformasi 98 pasti mengenal nama yang satu ini.
Pada ujung pemerintahan Orde Baru, Budiman sempat mendekam dalam jeruji besi untuk beberapa waktu karena dianggap langkah-langkahnya membahayakan kekuasaan. Pendiri Partai Rakyat Demokrat (PRD) ini memang dikenal sebagai aktivis par excellent, kutu buku, pikiran-pikirannya melampaui zaman dan visioner.
Pasca reformasi, Budiman bergabung dengan partai besutan Megawati, pernah beberapa periode merasakan kursi empuk Senayan sebagai anggota DPR RI. Tapi pada tahun 2024 haluan politiknya berubah dan memilih mendukung Prabowo Subiyanto. Padahal masih lekat dalam ingatan publik bahwa kedua tokoh ini tidak pernah sejalan di masa lalu. Budiman aktivis yang melawan hegemoni militer sedangkan Prabowo di kubu sebaliknya.
Penyebutan nama Budiman dalam Sidang Tanwir oleh Presiden jelas bukan sekedar bermakna candaan. Presiden ingin menegaskan bahwa Muhammadiyah mampu mencetak para intelektual dengan beragam warna. Pernyataan itu juga dapat ditafsirkan sebagai pelabelan identitas yang melekat.
Dengan kata lain sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Meskipun publik persyarikatan mungkin sudah lupa tentang sosok Budiman, tetapi orang di luar melihat tokoh kontroversial ini sebagai bagian dari anak zaman yang lahir dari rahim Muhammadiyah.
Tidak hanya nama Budiman. Presiden sempat menyebut nama Jefri Geovani yang merupakan sponsor utama dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai yang setiap hari dikutuk, dihujat, dinyinyirin dan didoakan keburukannya oleh sebagian warga persyarikatan di grup-grup Whatsapp. Padahal dibalik berdirinya PSI, ada peran kader Muhammadiyah yang progresif dan berkemajuan.
Ada banyak nama lain yang bisa jadi bertebaran di berbagai posisi dan peran. Keberadaannya mungkin tak tersorot oleh publik Muhammadiyah, tetapi darah Sang Surya terus bertahan dan mengendap dalam bungker ideologi yang kuat.
Kesadaran untuk menempatkan dan memuliakan para diaspora Muhammadiyah perlu dibangun secara serius. Karena sejatinya mereka tidak pernah lupa dengan rumah yang membesarkannya. Keberadaan mereka dengan segala posisi yang melekat tidak perlu dipersoalkan. Apapun warna partainya selama darah Muhammadiyah masih tetap mengalir tidak mengapa.
Yang perlu dilakukan adalah mengkonsolidasikan kekuatan yang berserakan dalam satu tarikan frekuensi. Semua boleh berwajah masing-masing, tetapi saat Muhammadiyah memanggil mereka hadir untuk ikut membesarkan persyarikatan. Karena gerakan ini hanya mengerti cara orang masuk Muhammadiyah dan tidak pernah ada jalan keluarnya.
Rumah Sanggrahan, Selasa, 10 Desember 2024 pukul 21.03 WIB