BERADA di pesawat yang tengah terjebak dalam awan Cumulonimbus, sungguh sebuah pengalaman yang sangat mengerikan. Pengalaman menembus awan hitam nan legam itu pernah kualami saat aku pulang dari kuliah di bilangan Salemba Jakarta Pusat beberapa tahun silam atau tepatnya pada tanggal 30 Desember 2014.
Saat itu, pesawat Citylink jenis Airbus A320-200 yang kutumpangi, take off dari bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta (HLP) menuju Bandara Sultan Mahmud Baddarudin II (PLM) Palembang sekitar pukul 20.00 WIB, atau mundur 3 jam dari jadwal semula pukul 17.05 WIB.
Mundurnya jadwal penerbangan ini karena adanya pesawat kepresidenan yang hendak melintas 30 menit ke depan. Menurut info dari petugas bandara, sesuai protokol kepresidenan, bandara harus steril dari aktivitas penerbangan sipil ketika pesawat kepresidenan hendak melintas, yakni 30 menit sebelum dan sesudah pesawat RI 1 tersebut melintas dari run way bandara.
Ketika melakukan take off, pesawat melaju dalam kondisi normal dan mulus. Selama dalam perjalananpun, pesawat masih dalam keadaan normal, walaupun sesekali mengalami turbulensi ringan. Namun, saat akan memasuki wilayah Kota Palembang, pilot melaporkan bahwa kondisi cuaca di sekitar SMB II dalam keadaan buruk sehingga pesawat tidak diijinkan untuk mendarat.
Dari ruang kokpit, pilot itu mengumumkan bahwa pesawat akan menunggu cuaca membaik dengan cara berputar-putar selama kurang lebih 10 menit di atas Kota Palembang dan di sekitar Selat Bangka. Jika selama 10 menit tersebut cuaca tidak juga membaik, maka pesawat akan di-divert ke Bandara Hang Nadim Batam. Untuk itu, kepada seluruh penumpang dan awak kabin diminta untuk segera mengenakan sabuk pengaman karena kondisi cuaca yang dilaporkan kian memburuk.
Mendengar pengumuman itu, rasa khawatirku mulai membuncah. Apalagi, sebagai orang yang suka duduk di kursi dekat jendela (kursi A/F), aku menyaksikan dari dekat gumpalan awan yang sangat besar bak cendawan raksasa memayungi Kota Palembang. Di sekitar awan itu kulihat kilauan petir yang saling sambar-menyambar dan terlihat begitu dekat dengan badan pesawat. Kulihat juga lampu navigasi di sayap pesawat nampak mulai berbinar-binar dengan cepat.
Setelah berputar-putar hampir selama 10 menit di atas Selat Bangka, entah mengapa pesawat itu tiba-tiba memasuki awan Comulonimbus. Aku terkesiap. Aku tercekat! Apalagi saat itu aku tidak bisa lagi melihat sayap pesawat dan sinar lampu navigasi yang memancar di ujung sayap. Semua pemandangan di luar nampak tertutup rapat oleh tabir awan hitam nan gelap. Hatikupun berkecamuk serasa ingin berontak. Ya Allah..!
Lalu tiba-tiba, “kraaaakk….!!” terdengar suara di ruang kabin pesawat yang bergesek sangat keras, seperti hendak patah, saat pesawat tersebut mulai mengalami turbulensi hebat. Semua penumpang menjerit. Beberapa anak balita terdengar menangis dengan suara yang menyayat hati dari balik dekapan ibunya.
Sekian detik kemudian, pesawat mendadak “terhempas” ke bawah seakan kehilangan tenaga. Suara mesin pesawat itu seperti senyap. Bodi pesawat terasa anjlok dengan sangat cepat selama kurang lebih hampir 20 detik. Perutku terasa mual tak tergambarkan. Lalu, bodi pesawat terlempar lagi ke atas, bergeser ke kiri, terhempas lagi ke bawah, dan terdorong lagi ke atas, bergeser ke kanan, terhempas lagi ke bawah, dan terdorong lagi ke atas hingga berkali-kali.
Kaki ini rasanya tak mampu lagi menjejak di atas lantai pesawat karena gaya gravitasi yang mulai bekerja dengan hebat. Kaki-kaki ini serasa menggantung antara hidup dan mati. Dadaku berdetak kencang dan punggungku terasa sakit hingga ke dasar tulang. Suasana kabin pesawat yang gelap, karena lampu dimatikan, terasa begitu mencekam. Semua pasrah, semua berdoa, semua meminta, dan semua menghiba kepada Allah.
Saat itu, tiba-tiba wajah istri dan anak-anakku melintas dalam pikiranku. Siapa yang akan menafkahi hidup mereka seandainya malam ini hidupku harus berakhir di atas ketinggian yang sunyi dan gelap gulita seperti sekarang ini?
“Ya Allah, tolong berikan aku kehidupan yang kedua. Ijinkan aku meraih cita-citaku. Ijinkan aku menyelesaikan studiku. Ijinkan aku menyelesaikan tanggungjawabku atas pendidikan anak-anakku. Ijinkan aku untuk menjadi hambamu yang lebih baik lagi,” bisikku dengan lirih.
Hatikupun mulai menangis, namun pesawat ini terus berguncang dan berguncang. Kucoba memandang keluar dengan menempelkan wajahku di kaca jendela, sekedar untuk memastikan kondisi cuaca di luar sana. Namun yang kulihat hanyalah tabir hitam pekat yang menggidikkan bulu roma.
Tak ada harapan lagi, pikirku dalam hati. Inilah saatnya ajal itu akan menjemputku. Aku sudah yakin sekali bahwa pesawat yang kutumpangi akan jatuh malam ini. Apalagi wajah orang-orang yang sudah meninggal nampak berseliweran dari pandanganku. Mulai dari sosok almarhumah ibuku, tetanggaku, dan kawan-kawanku yang seakan siap menyambut kematianku. Seakan mereka ikut menyaksikan tangan sakaratul maut yang tengah bekerja pada ragaku.
Aku mulai panik. Kucoba menenangkan hati sambil meneruskan zikirku yang sempat terhenti. Lalu kulafadzkan dalam hati dua kalimah syahadat, sholawat nabi, dan dzikir. Harapanku cuma satu, aku ingin menemui ajalku dalam keadaan husnul khotimah dan memasrahkan diri kepada Allah SWT yang mungkin sebentar lagi akan segera kutemui.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba engine pesawat ini mengeluarkan suara yang sangat keras dan memekakkan telinga. Laju pesawat terasa menggeliat, melambung tinggi, menukik, dan menerobos gumpalan awan itu dengan cepat. Terasa badan pesawat itu bergetar hebat, seakan merasakan ketakutan yang sama seperti yang dialami para penumpangnya sedari tadi.
Terdengar suara ribuan pukulan yang mendera badan pesawat itu dengan keras, seperti suara hujan badai yang menimpa atap rumah. Gemuruhnya tak terkatakan. Pesawat terus melaju, bergetar, cepat, sungguh cepat, seakan ada yang mengejar.
Tak lama, pesawat tiba-tiba keluar dari gumpalan awan hitam itu dengan arah moncong pesawat yang sedikit menaik. Sesaat kemudian pesawat itupun sudah berada di atas ketinggian dan menjauh dari kumpulan awan hitam.
Keadaan di dalam kabin masih terdengar sunyi dan senyap. Semua terdiam. Tak ada satupun terdengar penumpang yang mencoba buka suara, termasuk pramugari dan pramugara. Semua masih nampak shock dengan kejadian barusan. Saat itu, pesawat perlahan-lahan mulai terasa stabil dan dengan cepat meninggalkan Kota Palembang menuju Bandara Hang Nadim di Kota Batam. Huff..!
Lepas dari insiden mengerikan itu, hatiku lega meskipun rasa was-was itu masih tetap membuncah, karena perjalanan masih sangat panjang. Akhirnya, sekitar 45 menit berselang, kami berhasil mendarat di Hang Nadim yang malam itu sudah mulai nampak sepi. Banyak penumpang yang sujud syukur setibanya di bandara. Termasuk aku.
Setelah 3 jam menunggu di Hang Nadim, akhirnya pesawat kembali diberangkatkan menuju SMB II Palembang. Cuaca malam itu terlihat cerah. Awan, bintang, dan rembulan yang terlihat sangat jelas oleh mata telanjang, turut menemani perjalanan kami dini hari itu.
Tepat pukul 02.00 WIB, pesawat itu berhasil mendarat dengan selamat. Tanda-tanda telah terjadi hujan badai dengan tiupan angin yang sangat kuat, tampak masih tersisa di landasan pacu Bandara SMB II. Genangan air dan cabang-cabang pohon yang patah di sekitar bandara, masih nampak terlihat dengan kasat mata.
Sepintas kulihat ada pesawat kepresidenan RI 1 nampak terparkir di Bandara SMB II. Hmmm, aku sempat berfikir, gara-gara pesawat inilah perjalanan kami jadi tertunda 3 jam dari jadwal semula. Gara-gara pesawat inilah, berbagai insiden menimpa kami baik sebelum maupun sesudah keberangkatan. Tapi, ahh sudahlah. Aku sungguh bersyukur, yang jelas malam itu aku masih diberikan kesempatan kedua untuk tetap hidup dan menjejakkan kakiku kembali di kota kelahiranku. Wallahu’alam bisowwab.
Tapos, Jawa Barat, 29 Desember 2023