MUHAMMADIYAH PASCA TAMBANG (Bagian Kedua)

Oleh: Gus Zuhron – (Sekretaris MPKSDI PWM Jateng, Dosen AIK Unimma Magelang)

Salah satu kebiasaan Pimpinan Pusat adalah kepiawaian mereka dalam melahirkan beragam pemikiran dan keputusan. Tetapi hal itu tidak berbanding lurus dengan mesin sosialisasinya. Sehingga banyak putusan Muhammadiyah yang “mandeg” (berhenti) di tengah jalan. Akibatnya banyak dari pikiran-pikiran brilian itu hanya berhenti menjadi dokumen tanpa pernah membumi secara masif. Kegagalan mentransfer pengetahuan sering menjadikan jarak antara apa yang dipikirkan Pusat dengan apa yang terjadi dikalangan jama’ah.

Untuk mengujinya cukup sederhana, bisa ditanya berapa banyak Pimpinan Daerah, Cabang dan Ranting yang memahami konsep Gerakan Jama’ah Dakwah Jama’ah (GJDJ). Seberapa dalam mereka memahami Risalah Islam Berkemajuan, seberapa baik mereka memahami Himpunan Putusan Tarjih, seberapa sering mereka membaca pikiran-pikiran resmi ideologis yang telah diputuskan oleh Muhammadiyah dan seterusnya.

Baca Juga:  TIGA KELOMPOK PASCA PEMILU

Ketidakfahaman terhadap pemikiran-pemikiran resmi organisasi menjadikan sebagian jama’ah sering salah paham bahkan gagal paham. Maka tidak perlu heran jika ada orang Muhammadiyah mengaku sebagai pengurus dan pejuang persyarikatan namun pikiran dan gerakannya tidak sejalan dengan Garis-garis Besar Haluan Organisasi. Mereka menggerakkan Muhammadiyah sesuai dengan seleranya sendiri.

Begitu juga keputusan krusial mengenai tambang. Ini adalah keputusan berani yang mengandung resiko tinggi. Aset paling berharga dari Muhammadiyah adalah jama’ah bukan amal usaha yang mentereng dan megah. Kegagalan menjelaskan pada jamaah akan berpotensi menggerus populasi jama’ah. Patut diduga, psikologi mayoritas warga persyarikatan akar rumput berada pada posisi bersebrangan dengan keputusan Pimpinan Pusat. Kondisi kebatinan ini bisa jadi karena faktor ketidakfahaman, atau faktor perbedaan pemikiran, faktor idealisme yang berbeda, atau faktor residu politik yang masih tersisa. Faktor yang terakhir lebih pada sikap oposan terhadap pemerintah yang lebih diminati dan ketidakpuasan pada hasil akhir kontestasi. Keputusan untuk menerima konsensi dianggap sebagai sikap kalah dan tunduk pada penguasa.

Baca Juga:  POLARISASI POLITIK 2024

Belum hilang dalam ingatan publik tentang kegagalan Muhammadiyah mengelola Bank Persyarikatan yang merugikan organisasi hingga ratusan Milyar. Muhammadiyah tidak kekurangan pengamat dan konseptor, tetapi gagap dalam mencari eksekutor. Kekhawatiran itu tampaknya berlaku juga dalam kontek pengelolaan tambang. Belum ada argumentasi yang cukup meyakinkan mengenai kemampuan Muhammadiyah mengelola tambang. Narasi-narasi normatif tidak bisa menjadi jaminan bahwa upaya mengelola tambang akan berjalan mulus tanpa modus. Jam terbang Muhammadiyah belum teruji dengan pasti. Apalagi jamak dipahami dunia tambang adalah dunia yang penuh sikut sana-sini.

Baca Juga:  TATA LETAK NAFSU

Agaknya perlu muhasabah panjang pasca konsensi tambang diterima. Pimpinan Pusat harus benar-benar mampu membuktikan bahwa keputusan yang diambil adalah langkah yang benar dan tepat serta bermanfaat bagi persyarikatan. Dalam waktu yang bersamaan perlu ada upaya serius untuk kembali merekatkan jalinan ukhuwah antar warga Muhammadiyah yang menunjukkan tanda-tanda keretakan. Saatnya memberi kesempatan sejenak, setelah itu kita tunggu apa yang terjadi.

Lanjut Bagian Ketiga..

*) Red. Fordem.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *