Oleh: Gus Zuhron – (Sekretaris MPKSDI PWM Jateng, Dosen AIK Unimma Magelang)
Fordem.id – Dalam catatan sejarah, Muhammadiyah beberapa kali diterpa isu besar yang menguji keutuhan dan daya tahan organisasi. Kiyai Haji Ahmad Dahlan dalam sebuah forum besar yang dihadiri oleh para pimpinan Muhammadiyah pernah marah, sampai menggebrak meja dan mengatakan : “Muhammadiyah selamanya tetap Muhammadiyah, tidak akan pernah menjadi partai politik”. Tindakan itu dilakukan Kiyai Dahlan untuk merespon provokasi Haji Agus Salim agar Muhammadiyah bertransformasi menjadi partai politik. Dengan retorikanya yang begitu memukau menjadikan sebagian besar pimpinan terpesona dan tertarik dengan ide Agus Salim. Kiyai Dahlan tampil untuk mengembalikan Muhammadiyah pada garis perjuangan yang sebenarnya.
Cerita selanjutnya yang dapat kita simak adalah pasca dibubarkannya Masyumi oleh Sukarno. Bubarnya Masyumi menjadikan eksponen partai ini banyak yang masuk ke dalam tubuh Muhammadiyah.
Nalar politik mereka dibawa dalam denyut nadi gerakan persyarikatan. Akibatnya ada identitas gerakan dan suasana kebatinan yang terasa berbeda. Muhammadiyah seperti kehilangan jati diri sebagai gerakan Islam non politik. Tampil sebagai juru selamat saat itu adalah KH Faqih Usman dengan judul pidatonya yang sangat legendaris “Apakah Muhammadiyah Itu..?”. Pidato ini menjadi embrio lahirnya Kepribadian Muhammadiyah.
Peristiwa lain yang patut dibaca adalah ketika Muhammadiyah diuji dengan kebijakan penguasa mengenai diberlakukannya Asas Tunggal. Perdebatan panjang dalam tubuh Muhammadiyah cukup menguras energi. Pembelahan ummat Muhammadiyah nyaris terjadi akibat pro dan kontra mengenai asas tunggal. Adalah Pak AR Fahrudin ulama kharismatik menjadi bintang yang menyatukan seluruh organ gerakan. “Politik Helm” ala Pak AR mampu menjadi bahasa pemersatu yang menyejukkan dan mendamaikan. Gaya komunikasi Pak AR yang “njawani” menjadikan penguasa mau berkompromi dengan ide sederhana Pak AR. Publik Muhammadiyah juga menerima sepenuh hati begitu mega bintang persyarikatan ini menjelaskan mengenai hakikat mengapa kita harus mengikuti asas tunggal.
Saat ini, Muhammadiyah kembali diuji dengan isu besar mengenai konsensi tambang yang begitu menyita perhatian publik. Keputusan telah diambil lewat forum musyawarah yang melibatkan banyak pihak. Tidak dapat dipungkiri, efek dari keputusan itu adalah potensi pembelahan masyarakat akar rumput yang cukup besar. Kehati-hatian dalam menjelaskan kepada publik Muhammadiyah sangat dibutuhkan. Sebab gagal dalam mengkomunikasikan akan berdampak luas dan panjang.
Mungkin saatnya Muhammadiyah mengutus juru selamat yang handal untuk kembali merajut benang kusut dan menyatukan serpihan-serpihan yang berserak. Harus ada Ahmad Dahlan baru, Faqih Usman Baru dan Pak AR baru yang dapat meluruskan barisan dan melunakkan hati orang-orang yang sedang marah dan kecewa. Saya yakin marahnya mereka bukan wujud benci, tetapi perasaan cinta pada Muhammadiyah yang begitu besar.
Pertanyaanya siapa juru selamat itu…? Saya yakin Gus Zuhron cukup potensial untuk dipilih….wkwkwk….wkwk…kuwalat bosku…..
Tamat.