MENINJAU MASALAH ACEH SECARA MENDASAR (Bagian 2)

Oleh: Achwan Fanani

Menimbang Pejuang di Aceh

Masalah bendera Aceh menjadi pemicu bagi munculnya kembali suara-suara ketidakpuasan dan ketidakpercayaan sebagian kalangan di Aceh, baik pada Pemerintah Daerah maupun Pusat. Sebenarnya Pemerintah Daerah didominasi orang-orang Partai Aceh, yang berasal dari eks Kombatan GAM. Tetapi ketidakpuasan itu disuarakan kembali dalam aspirasi untuk merdeka, meskipun kondisinya lebih tidak mudah saat ini.

Pertama, Penguasa Aceh sekarang adalah dari eks GAM sehingga suara Aceh sebenarnya tidak tunggal dan sekaligus tidak bisa juga menujukan kesalahan kepada Pemerintah Pusat.

Kedua, Pengalaman menunjukkan bahwa persatuan yang tumbuh saat perang tidak selalu menghasilkan kesatuan dan kesetaraan dalam menikmati kue pembangunan pasca perang, termasuk level daerah. Masyarakat bawah selalu menjadi korban, tetapi elit sebagian mendapatkan keberuntungan. Karena itu, korban terbesar andai perang kembali terjadi adalah masyarakat kecil.

Ketiga, Aceh terdiri atas masyarakat yang heterogen. Meskipun mereka dulu bersama-sama melawan TNI karena tidak suka melihat kekerasan di Aceh. Tetapi ketika identitas ke-Aceh-an itu didominasi oleh identitas etnis terbesar di Aceh, maka etnis-etnis lain merasa terpinggirkan juga sehingga muncul aspirasi untuk pembentukan Provinsi ALA dan ABAS, yang hingga saat ini tidak diterima oleh DPR RI.
>Masalah bendera pun juga melahirkan pula respon dari Laskar Merah Putih di Gayo, termasuk ide untuk menjadikan bahasa Aceh untuk keperluan administrasi Pemerintahan.

Baca Juga:  Belajar dari Nabi Sulaiman: Program MBG Sebaiknya Dikaji Lagi Keberlanjutannya

Boleh jadi wacana merdeka ini adalah cara untuk mendorong agar semua pihak lebih memperhatikan masalah Aceh. Wacana tersebut berfungsi sebagai kontrol atas pelaksanaan perjanjian Helsinki yang belum melahirkan hasil yang diharapkan bersama.

Sebagai satu poin kesepakatan damai Helsinki, Pemerintah RI perlu untuk mengambil sikap tentang masalah bendera. Pencopotan bendera Aceh yang dilakukan aparat tidak akan menyelesaikan masalah kalau itu terkait dengan poin kesepakatan damai dalam MoU Helnsinki. Meskipun tidak ideal, masalah bendera ini perlu mendapat perhatian serius untuk meredakan ketegangan.

Baca Juga:  MILKUL YAMIN

Perlunya Pemikiran Ulang

Tentu ada resiko, yaitu jika bendera Aceh disahkan apakah bendera Bintang Kejora juga akan disahkan karena gerakan separatis Papua Merdeka akan menjadikan sikap pemerintah dalam menangani Aceh sebagai acuan seandainya di kemudian hari penyelesaian konflik di Papua mengambil contoh penyelesaian di Aceh.

Penyelesaian masalah ini juga akan berimbas pada definisi kita mengenai NKRI. Sejak Mosi Integral M. Natsir tahun 1950, kita bertekad bulat untuk menjadi negara kesatuan, bukan federasi. Sejak Sumpah Pemuda tahun 1928, kita mendeklarasikan kebangsaan Indonesia dengan bahasa sebagai salah satu alat pemersatu. Lagu-lagu kebangsaan kita yang diajarkan sejak TK memuji dan mengagungkan bendera merah putih sebagai lambang negara.

Penyelesaian masalah Aceh ini memang rumit bagi politisi maupun kalangan umum masyarakat Indonesia, apalagi tentara, yang sudah tertanam kuat ide kebangsaan dengan Bahasa Indonesia sebagai pengikat, dengan wilayah dari Sabang sampai Merauke, dengan bendera Merah Putih berkibar di seluruh tanah air Indonesia, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan dalam payung hukum dasar Pancasila.

Baca Juga:  DEMOKRASI MENUJU MONARKI

Menyelesaikan masalah Aceh ini menuntut pemerataan pembangunan dan penghormatan kepada kesepakatan Helsinki. Tetapi lebih dari itu, ada faktor historis dan doktrinal yang harus dipecahkan untuk mencapai solusi yang permanen dan akomodatif. Dahulu para Founding Father kita memperdebatkannya di BPUPKI, PPKI, hingga Konstituante dengan goncangan yang hebat.

Mungkin kita sendiri enggan untuk kembali mengevaluasi konsensus yang sudah tercapai mengenai berbagai aspek kebangsaan dan ke-Indonesia-an karena beresiko menimbulkan friksi baru. Tetapi, setidaknya harus ada kebijaksanaan bersama dalam penyelesaian masalah Aceh ini agar selesai secara tuntas.

*) Red. Fordem.id – Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Wakil Ketua PDM Kota Semarang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *