Fordem.id – Pendidikan bagi saya merupakan sebuah mata rantai penting dalam peradaban manusia, namun ironisnya pada masa sekarang dunia Pendidikan di Indonesia semakin terjerat dalam belenggu komersialisasi.
Munculnya semakin banyak kritik yang kian masif terhadap arah pendidikan di tanah air menurut saya tidaklah berlebihan. Sebab komersialisasi pendidikan telah menjadikan pendidikan lebih sebagai bisnis daripada misi untuk mencerdaskan bangsa. Kita harus menolak arus ini dan mengadvokasi pendidikan yang terjangkau untuk semua kalangan, bermutu, demokratis, dan berintegritas.
Paulo Freire di dalam bukunya menyatakan bahwa pendidikan seharusnya mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia sejati, bukan menjadi alat penindas dan kebodohan. Namun, realitasnya sangat jauh dari itu. Komersialisasi pendidikan memunculkan bentuk-bentuk baru penindasan dan ketidaksetaraan akses pendidikan.
Sistem kapitalisme yang menjadi akar komersialisasi pendidikan menempatkan kepentingan bisnis di atas segalanya. Sekolah bukan lagi tempat mencerdaskan, melainkan lahan bisnis bagi pemodal.
Uang kuliah tungaal (UKT) yang melambung tinggi di beberapa kampus negeri hanyalah salah satu contoh nyata bagaimana pendidikan telah menjadi arena permainan uang semata. Orang tua terbebani, dan banyak anak-anak bangsa terpinggirkan.
Namun, ini bukanlah hanya masalah biaya. Komersialisasi juga merusak kualitas pendidikan. Selain itu, masih banyaknya guru yang tidak mendapatkan kompensasi yang memadai atau fasilitas yang layak akan sulit memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya. Saya rasa tidak berlebihan jika saya menganggap hal ini adalah masalah sistemik yang melumpuhkan proses pendidikan secara menyeluruh.
UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang memberikan kemudahan intervensi bisnis di sektor pendidikan semakin memperparah situasi. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembebasan dan pencerdasan, kini menjadi ladang untuk menghasilkan buruh yang pasif dan tidak kritis. Generasi penerus bangsa diarahkan untuk menjadi alat produksi semata, bukan agen perubahan yang berpikir kritis.
Jika kita tidak bertindak sekarang, dampaknya akan terus terasa dalam jangka panjang. Masyarakat akan terbelah antara yang mampu dan tidak mampu mengakses pendidikan berkualitas. Kesenjangan sosial akan semakin lebar, dan negara akan kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berintegritas.
Maka dari itu, langkah konkret perlu diambil. Gerakan untuk mengadvokasi pendidikan gratis, bermutu, demokratis, dan berintegritas harus diperkuat. Inilah saatnya bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil untuk bersatu dan menyuarakan perubahan.
Pertama, pendidikan harus kembali menjadi hak bagi semua, bukan privilige bagi yang mampu. Implementasi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang pendidikan gratis tanpa pungutan biaya harus dijalankan tanpa kompromi.
Kedua, kualitas pendidik harus menjadi fokus utama. Program pelatihan dan pengembangan kompetensi harus disediakan secara merata untuk memastikan setiap pendidik memiliki kualitas yang prima.
Ketiga, kurikulum harus dibangun atas dasar kebutuhan bangsa, bukan kepentingan politik atau bisnis. Pendidikan seharusnya membentuk karakter dan kritisitas, bukan hanya mengejar angka-angka statistik.
Keempat, guru honorer harus diperhatikan. Mereka seringkali terabaikan padahal memiliki peran krusial dalam proses pendidikan. Pemerintah harus memastikan mereka mendapatkan perlakuan yang adil dan kompensasi yang pantas.
Kelima, pemerataan fasilitas pendidikan harus menjadi prioritas. Setiap daerah, termasuk daerah terpencil, harus memiliki akses terhadap fasilitas pendidikan yang memadai.
Keenam, dukungan keuangan dari pemerintah pusat dan daerah harus memadai. Dana yang cukup akan mendorong sinergi antara lembaga pendidikan dan pemerintah, bukan membebani lembaga pendidikan sendiri.
Ketujuh, pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman. Diskriminasi, pelecehan, atau perlakuan tidak adil lainnya harus diberantas dari lingkungan pendidikan.
Dengan langkah-langkah ini, saya meyakini kita dapat mengubah wajah pendidikan di Indonesia. Kita bisa menciptakan generasi penerus yang cerdas, kritis, dan berintegritas. Tugas berat memang menanti, tetapi dengan tekad yang kuat dan aksi bersama, kita dapat mencapai perubahan yang sesungguhnya dibutuhkan oleh bangsa ini. Jangan biarkan pendidikan menjadi korban komersialisasi. Mari bersama-sama menjadikan pendidikan sebagai kekuatan utama bangsa.***