Gus Zuhron
Begitu membaca kata “imajinasi” yang terbayang pertama adalah sebuah lagu karya John Lennon mantan vocalis The Beatles. Lagu ini dirilis pada 9 Oktober 1971 sebelum sang legenda harus tewas dalam sebuah aksi pembunuhan. John Lennon dalam lagunya memimpikan sebuah dunia yang damai dan bisa dihuni oleh siapa saja.
Syarat dunia damai itu adalah tanpa agama, tanpa kehadiran negara, menjauhkan bayangan adanya syurga dan neraka. Dunia tanpa perang, tanpa ketimpangan ekonomi dan dunia yang terikat dalam satu prinsip kebersamaan dan kedamaian.
Pada titik poin tertentu gagasan Imajinasi Islam Prof. Komar seperti meliliki relevansi dengan mimpi Sang Diva. Dunia yang penuh damai, bersemainya keadilan, tidak ada ketimpangan adalah beberapa contoh poin penting tentang misi masa depan. Saya tidak tahu apakah Prof. Komar penggemar John Lennon atau tidak. Namun pada banyak sisi yang lain jelas Imajinasi Islam sangat berbeda secara diametral dengan imaginasi Lennon.
Kata imajinasi Islam sebenarnya kurang lazim digunakan untuk merangkai sebuah mimpi besar. Biasanya para sarjana dan kaum reformis Muslim memilih kata kebangkitan Islam, cita-cita Islam, pembaharuan Islam dan seterusnya. Tampaknya penulis ingin menyuguhkan sebuah angle yang berbeda dalam menatap masa depan Islam. Sebuah sudut pandang yang dirangkum dari pengalaman kehidupan, dialektika keilmuan, perjumpaan dengan beragam kebudayaan, interaksi dengan banyak komunitas lintas agama dan sebuah perenungan mendalam.
Dalam buku Imajinasi Islam, Prof. Komar mencoba mengajak kita semua untuk bermimpi mengenai Islam masa depan. Pembahasan diawali dengan berselancar kembali pada masa lalu dimana fase awal Islam dibangun. Figur sentral Muhammad dengan segala kepiawaiannya menjadi penentu keberhasilan dakwah Islam. Fase pertama ini sesungguhnya sangat menentukan perkembangan Islam pada periode selanjutnya.
Setelah wafatnya Rasulullah saw. dengan ditandai penaklukan kota Makkah, tampuk kepemimpinan Islam dipegang oleh generasi sahabat. Pada fase ini perkembangan Islam semakin pesat. Efek dari perkembangan itu tidak dapat terelakkan bahwa persinggungan Islam dengan kebudayaan yang berbeda menjadikan Islam tidak lagi berwajah tunggal. Belum lagi para penafsir dengan latar belakang dan sudut pandang yang plural semakin mengokohkan bahwa Islam tidak dapat dipandang hanya dalam satu model saja.
Laju peradaban dunia seperti memaksa sebuah realitas bahwa Islam Wahyu dengan Islam Sejarah merupakan dua hal yang berbeda. Islam wahyu adalah semua yang termaktub dalam teks suci firman Tuhan dan terangkai indah dalam sunnah nabi. Sedangkan Islam sejarah adalah bukti kongkrit hasil penafsiran teks suci dan proses interaksi panjang dengan kebudayaan masyarakat yang sangat beragam. Perilaku Islam di Indonesia sangat berbeda dengan Islam yang ada di India, Pakistan, Timur Tengah, Eropa, Amerika dan seterusnya.
Perkembangan sains dan teknologi tidak luput menjadi pembahasan yang cukup serius. Sains yang bertumpu pada rasionalitas, dalam sejarah pernah menjadi ancaman bagi agama. Bahkan sampai saat ini upaya membunuh agama dengan logika sains masih terus berjalan. Perang antar dua entitas besar ini sesungguhnya telah berlangsung lama.
Prof. Komar tampaknya mencoba melihat titik relasi antar keduanya. Agama dan sains mempunyai logika sendiri yang tidak harus dipertentangkan. Ada simbiosis mutualisme yang bisa diupayakan saat kemesraan sains dan agama dapat dipertemukan.
Melihat dinamika perekembangan manusia saat ini, rasanya mustahil membangun peradaban ummat hanya menggunakan satu entitas saja. Agama dengan nilai spiritual, sains dengan segala keluasan cakupannya dan negara dengan segala perangkatnya harus menyatu dalam satu visi keselarasan demi terwujudnya dunia yang lebih beradab.
Penulis tidak lupa mendiskusikan Islam dalam konteks ke-Indonesia-an. Sebuah negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Beragam suku bangsa, etnis, agama dan bahasa menyatu dalam satu tarikan nafas kebhinekaan. Watak moderat yang menjadi mainstream pemikiran Islam di Indonesia adalah sebuah peluang besar untuk membentuk peradaban di masa depan. Akan tetapi keragaman dan sikap moderat itu belum cukup jika tidak ditopang dengan kesiapan beradaptasi pada perubahan.
Dalam sebuah wawancara dengan Helmi Yahya sekitar dua tahun yang lalu, Prof Komar mengatakan bahwa dirinya adalah pembelajar yang tidak pernah tamat dan orang yang tidak puas hanya dengan satu disiplin ilmu. Ini dapat dilihat dari uraian yang termaktub dalam Imajinasi Islam.
Sebuah tulisan yang tidak terlalu panjang namun melibatkan banyak pengetahuan. Sejarah, filsafat, sains, Al-Qur’an, hadits, ekonomi, politik, budaya, teologi, bahkan juga tasawuf. Prof Komar seperti ensiklopedia berjalan yang melekat padanya banyak pengetahuan. Disinilah letak perbedaan yang sangat mendasar antara imajinasi John Lennon dengan Prof. Komar.
Meskipun baru sebuah embrio gagasan namun apa yang dipikirkan Prof Komar jauh lebih komprehensif. Keindahan masa depan umat manusia bukan dengan jalan meniadakan agama atau membuang jauh fungsi negara. Melainkan memadukan banyak hal dalam sebuah tarian keselarasan yang indah. Mungkin kalau John Lennon sempat membaca buku Imanjinasi Islam, dia akan mengubah lirik lagunya. Dan saya yakin lirik lagu itu akan terasa lebih indah.
Selamat berimajinasi.
Magelang : 27/02/2024