Wahyudi Nasution
Ronda di Poskamling malam Minggu kali ini tampak lebih gayeng dari biasanya. Bukan hanya karena tiap malam Minggu, jadwal rondanya mayoritas pemuda remaja yang masih sekolah atau kuliah, tapi ‘ndelalah‘ ada Lek Nardi yang mampir dari “kondangan” (walimahan) dan membawa banyak makanan. Suasana pun jadi hidup dan meriah.
Tetangga Pak Bei yang satu ini agak istimewa. Kehadirannya di manapun selalu membawa suasana segar. Pekerjaannya sebagai pengrajin “lanjaran” : bilah bambu untuk tanaman merambat, rupanya membawanya banyak bergaul dengan berbagai kalangan. Banyak omong, dan kadang terkesan sok tahu segala hal. Suaranya pun keras, khas orang desa. Saking sok tahu dan kerasnya, kadang terkesan kurang “subasita” kurang sopan. Tapi justru itu yang bikin suasana jadi hidup, gayeng, dan anak-anak muda pun menyukainya.
“Anak-anak, ini mumpung ada Pak Bei, ayo kita keroyok ramai-ramai agar berbagi ilmu ke kita,” Lek Nardi memprovokasi para pemuda.
“Ya monggo, Lek Nardi dulu yang memulai“, sahut Teguh yang duduk di pojok.
“Mestinya kalian dulu yang punya banyak informasi. Ayu Sul, ajukan pertanyaan ke Pak Bei,” Lek Nardi menyuruh Samsul yang lagi asyik makan rengginang.
“Kalau saya ini kan cuma wong bodho (bodoh), hanya tahu informasi dari tivi. Atau monggo Pak Bei saja yang cerita. Pasti punya info yang layak kita dengar”, sambungnya.
“Cerita apa to, Lek? Aku lebih suka mendengarkan cerita-ceritamu,” jawab Pak Bei.
“Ya cerita tentang politik, misalnya. Beberapa hari lagi kita akan memasuki masa kampanye Pemilu. Pasangan Capres Cawapres ada tiga dan sudah jelas nomor urutnya. Dari ketiga pasangan itu, mana yang layak kita pilih?”
“Wah berat itu, Lek.”
“Kok berat? Sampeyan kan tokoh masyarakat. Pasti bisa memberi pencerahan pada orang bodoh seperti saya ini.”
“Iya, Pak Bei. Lek Nardi benar. Kami ini butuh pengarahan menghadapi Pemilu nanti,” kata Slamet.
“Begini… Pertama, kalian tahu saya ini bukan tokoh politik, bukan politisi. Jadi kurang cukup paham peta politik yang sebenarnya. Kedua, saya sudah punya pilihan yang mungkin berbeda dari pilihan teman-teman. Mari kita saling menghormati perbedaan dan saling menjaga perasaan.”
“Tolong Pak Bei juga menghargai permintaan kami. Kami cuma ingin diajari membaca dan membedakan mana calon pemimpin yang baik dan mana yang kurang baik. Pak Bei tentu lebih tahu dari kami,” Lek Nardi menyanggah.
“Baiklah kalau begitu,” Pak Bei pun mengalah. “Aku punya cerita.”
“Nah gitu, Pak Bei.”
“Jumat kemarin, di perjalanan ke Semarang untuk suatu urusan, aku berhenti di sebuah masjid untuk Jumatan.”
Semua petugas ronda tampak siap mendengarkan cerita Pak Bei. Ada yang sambil klepas-klepus rokokan, ada yang sambil menikmati kacang oven bawaan Lek Nardi.
“Muazin mengumandangkan azan tepat setelah aku selesai sholat tahiyatul-masjid. Jamaahnya belum seberapa banyak, masih beberapa shaf belum terisi, alias masih kosong. Beberapa jamaah yang baru datang tampak berdiri menunggu muazin menyelesaikan azan, baru kemudian mereka akan melakukan shalat dua rakaat, shalat tahiyatul-masjid“.
“Rupanya masyarakat di sana tidak jauh beda dengan di kampung kita ya, Pak Bei? Baru bergegas ke masjid ketika azan sudah mulai berkumandang,” kata Arif sambil tertawa.
“Iya. Kebiasaan yang kurang afdhol, tetapi umum terjadi di mana-mana,” jawab Pak Bei.
Pak Bei melanjutkan ceritanya. Khatib Jumat mengangkat tema aktual dan sangat kontekstual, yakni seputar memilih pemimpin. Diawali cerita sejarah Madinah sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin dari Mekah. Konon ada banyak suku di Madinah, yang paling dominan adalah suku Aus dan Khazrat. Suku-suku kecil bangsa Yahudi suka memperkeruh keadaan, menyebar fitnah, dan mengadu domba mereka. Maka, kedua suku Arab yang seakan partai politik di jaman kita itu terus bermusuhan dan tak jarang terjadi peperangan antara keduanya.
“Di jaman itu sudah ada provokator yang suka adu-domba ya, Pak Bei?”
“Benar. Saking seringnya berperang antar mereka, akhirnya mereka pun merasa capek sendiri. Mereka sadar dan ingin hidup damai dan tenteram, ingin bebas dari rasa takut, ingin bisa bekerja dengan tenang, dan ingin membangun negerinya agar makmur sentosa. Mereka butuh pemimpin yang adil dan tidak menindas.”
“Terus, Pak Bei….”
“Menurut cerita khatib kemarin, ada seorang tokoh dari suku Khazrat bernama Abdullah bin Ubay yang sangat berambisi menjadi pemimpin Madinah. Tentu saja suku Aus menolaknya karena mereka tahu watak Abdullah bin Ubay yang culas, suka berbohong, tidak jujur, dan kejam. Tapi Abdulllah bin Ubay tetap berusaha tampil sebagai pemimpin Madinah. Orang-orang pun takut dan terpaksa taat pada Abdullah bin Ubay.”
“Terus, Pak Bei…”
“Ketika Nabi Muhammad dan para sahabatnya datang berhijrah dari Mekkah, masyarakat Madinah menyambut dengan suka cita. Maklumlah, memang sudah lama mereka mendengar kabar dari orang- orang Yahudi bahwa Allah akan mengutus Nabi terakhir, entah kapan datang, untuk menjadi panutan bagi manusia agar selamat dunia-akhirat. Ciri-ciri Nabi terakhir itu persis yang mereka saksikan pada diri Muhammad. Orangnya jujur, dapat dipercaya, tutur katanya bagus, dan cerdas. Masyarakat Madinah pun yakin bahwa beliaulah Nabi terakhir itu. Maka mereka ramai-ramai berbaiat kepada Muhammad dan mengikuti ajaran Islam yang dibawanya.”
“Terus bagaimana reaksi Abdullah bin Ubay, Pak Bei?”
“Abdullah bin Ubay pun terpaksa pura-pura ikut berbaiat, meski sebenarnya dia sangat benci pada Rasulullah SAW.”
“Mbok jangan panjang-panjang ceritanya, Pak Bei,” rupanya Lek Nardi tidak sabar mendengar cerita sejarah. “Kesimpulannya saja apa?,” tanyanya.
“Menurut khatib, Pemilu nanti kita akan memilih pemimpin untuk masa depan Indonesia, Lek Nardi. Apakah kita mau memilih pemimpin tipe Abdullah bin Ubay yang munafiq dan ambisius, atau memilih pemimpin tipe Muhammad SAW yang memiliki sifat sidiq/jujur, amanah/dapat dipercaya, tabligh/komunikatif, dan fathonah/cerdas. Semua terserah jamaah. Khatib cuma mewanti-wanti supaya jamaah menggunakan akal sehat dalam menentukan pilihan agar tidak menyesal kemudian.”
“Terima kasih, Pak Bei. Jelas aku akan milih yang tipe Nabi Muhammad SAW. Kalau kalian mau pilih tipe Abdullah bin Ubay, ya silakan saja, tapi rasakan akibatnya. Akan semakin remuk dan hanya dibohongi terus,” kata Lek Nardi kepada anak-muda.
“Ya enggaklah, Lek. Aku bala-mu,” sahut Teguh.
“Iya, Lek. Aku juga bala-mu,” kata Samsul.
Obrolan di cakruk pun bubar setelah Teguh melaporkan hasil jimpitan malam ini, terkumpul Rp 35.500. Alhamdulillah.
Klaten, 25/11/2023
*) Ketua LP-UMKM PDM Klaten, JATAM dan MPM PP Muhammadiyah