Oleh: Fahd Pahdepie – (Kader Muhammadiyah, CEO Inilah.com)
Resmi sudah, setelah menggelar konsolidasi nasional selama dua hari, Muhammadiyah menyatakan sikap bahwa siap mengelola lahan tambang sebagaimana diatur pemerintah dalam PP No 25 Tahun 2024. Keputusan itu diumumkan di Universitas Aisyiyah, Yogyakarta, Ahad (28/7). Dalam pernyataan resminya, Ketua Umum PP Muhammadiyah mengatakan bahwa kesiapan mengelola tambang itu datang dengan sejumlah catatan.
Terpenting, hasil tambang yang dikelola Muhammadiyah akan dipergunakan sebaik-baik dan seluas-luasnya untuk persyarikatan, dampaknya tentu untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Pengelolaan itu akan dilakukan secara bertanggung jawab dan memperhatikan aspek sosial dan lingkungan —bukan sekadar mengeruk keuntungan sambil mengeksploitasi alam (not for profit).
Komitmen ini tak main-main, Muhammadiyah bahkan siap mengembalikan izin tambang kepada pemerintah jika di kemudian hari terdapat banyak ‘mafasadat’ atau kerusakan yang ditimbulkan. Demi mengawal komitmen ini secara serius dan bertanggung jawab, Muhammadiyah akan segera membentuk Tim Ahli untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang diberikan pemerintah.
Keputusan PP Muhammadiyah boleh jadi mengecewakan sejumlah pihak, termasuk di dalamnya warga persyarikatan yang ingin Muhammadiyah menjauhi ‘madharat’ yang mungkin ditimbulkan dari pemberian IUP tambang ini. Mereka khawatir ini merupakan ‘jebakan politik’ yang dipakai oligarki atau mafia tambang agar praktek eksploitasi dan perusakan alam dengan dalih energi terus langgeng—ormas agama berposisi menjadi validatornya.
Namun, PP Muhammadiyah memiliki penilaian yang lain, sebagaimana alur pikir keputusan ini dibuat. Muhammadiyah melihat pemberian tambang kepada ormas keagamaan di era Presiden Jokowi ini justru merupakan kesempatan besar yang harus dimaksimalkan hasilnya. Amal usaha Muhammadiyah di bidang ekonomi dan bisnis pertambangan jadi bisa dilakukan—padahal sebelumnya terasa jauh dari jangkauan.
Hasil Tambang untuk Umat dan Rakyat
Payung tertingginya adalah Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang mengatakan bahwa, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Masalahnya, selama ini tambang ‘dipergunakan’ oleh orang per orang atau untuk kepentingan beberapa kelompok saja. Perusahaan dan korporasi yang terlibat dan menikmati tambang maksimal hanya 1% dari masyarakat—bahkan sebenarnya kurang. Sisanya, 99% rakyat Indonesia tak punya akses atau mendapatkan manfaat dari hasil tambang yang sebenarnya secara undang-undang adalah milik negara dan harus ‘dikembalikan’ kepada rakyat.
Sejak lama berbagai kelompok yang menyadari hal ini berusaha ‘merebut’ pengelolaan tambang dari segelintir pihak tadi—atau paling tidak, mendapatkan akses agar bisa ikut mengelolanya. Sayangnya usaha itu selalu dihalangi kelompok-kelompok bisnis dan mafia tambang yang tak ingin lahan dan cuan mereka diganggu.
Baru di masa pemerintahan Presiden Jokowi hal ini bisa dilakukan—meski baru di babak akhir. Sebagai bagian dari komitmen negara menjalankan amanat UUD 1945, pemerintah melakukan pengambilalihan pengelolaan lahan tambang tertentu lalu diberikan kepercayaannya kepada ormas keagamaan untuk ikut mengelola kekayaan bumi Nusantara—termasuk kepada Muhammadiyah. Ormas adalah representasi rakyat yang merupakan pemilik sah kekayaan alam negerinya.
Dari sini bisa dipahami bahwa respons dan keputusan Muhammadiyah adalah wujud konkret dari langkah merespons kepercayaan negara kepada Persyarikatan. Kepercayaan ini akan dijalankan Muhammadiyah demi kepentingan dan kemakmuran umat dan bangsa. Masuk akal, bukan?
Menjawab Kepercayaan Negara
Langkah Muhammadiyah menyatakan siap menjalankan amanah kepercayaan ini adalah sebuah keputusan yang besar dan berani. Ada risiko untuk disalahpahami warga persyarikatan secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum akibat diambilnya keputusan ini. Tapi para pimpinan Muhammadiyah tetap mengambil keputusan itu, menghadapi risiko untuk kemaslahatan yang lebih besar.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan Muhammadiyah agar kepercayaan besar yang telah diamanahkan ini bisa dikerjakan sebaik mungkin.
Pertama, merumuskan standar pengelolaan tambang yang berorientasi kepada kemakmuran sosial dan pemeliharaan lingkungan. Sebagaimana telah dibuktikan oleh Muhammadiyah di berbagai sendi kehidupan yang lain—pendidikan, kesehatan, hingga perekonomian—Muhammadiyah juga bisa menjadi teladan bangsa dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam berbasis mineral.
Kedua, transparansi dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan hasil tambang akan menjadi kunci lahirnya kepercayaan publik yang lebih besar kepada Muhammadiyah. Saat ini wajar jika banyak pihak meragukan atau tidak mendukung kebijakan yang diambil PP Muhammadiyah. Tetapi, dengan transparansi dan profesionalisme, seiring waktu Muhammadiyah bisa membuktikan diri menjawab keraguan itu.
Ketiga, melibatkan kader-kader terbaik dan profesional untuk mengelola tambang Muhammadiyah. Selama ini, ada keraguan di mata publik bahwa kekayaan alam Indonesia tidak dikelola oleh anak-anak bangsa terbaik di bidangnya. Justru banyak profesional tambang terbaik bekerja di perusahaan asing—mengeruk kekayaan alam Indonesia tetapi menguntungkan pihak asing. Muhammadiyah bisa mengubah ini dengan melibatkan kader-kader terbaiknya—buktikan bahwa umat Islam bisa mengelola kekayaan alam Republik. Inilah maksud dari tim ahli yang dibentuk Muhammadiyah.
Bayangkan jika Muhammadiyah berhasil menjalankan amanah pengelolaan tambang ini secara terbaik dan maksimal? Dampak bagi persyarikatan tentu saja sangat signifikan. Muhammadiyah akan semakin besar dan menjadi gerakan Islam yang mandiri serta berdaulat —memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi seluruh warganya.
Selain itu, dengan kemandirian ekonomi persyarikatan yang makin kokoh, dampak Muhammadiyah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara juga akan makin terasa. Sekolah hingga universitas-universitas Muhammadiyah akan terus bertambah, layanan klinik dan Rumah Sakit Muhammadiah meluas ke berbagai penjuru negeri, bahkan bukan hanya itu : Gerakan Islam, Gerakan Dakwah, dan Gerakan Pembaharuan dari Indonesia ini akan menjadi mercusuar global yang semakin mencerahkan peradaban.
Negara memang sedang membutuhkan peran persyarikatan, kesiapan Muhammadiyah adalah jawaban terbaik untuk memenuhi hal itu.
28 Juli 2024
*) Red. Fordem.id