Oleh: Rudi Pramono
Fordem.id – Mengambil pelajaran dari mantan Rektor sebuah Universitas tertua yang menjadi operator politik Jokowi dan kasus asusila yang dilakukan oleh seorang Profesor Farmasi terhadap beberapa mahasiswinya, menjadi pelajaran berharga dunia pendidikan bahwa meskipun mereka belum dapat gelar kehormatan namun gelar Profesor yang mereka sandang sebagai gelar tertinggi akademik itu tidak selalu paralel dengan integritas keilmuan dan moral.
Siapakah sesungguhnya yang berhak memberikan gelar tambahan seperti gelar kehormatan, klaim sekolah unggulan ?. Apakah manusia itu sendiri yang kemudian mengatasnamakan institusi ?.
Manusia tidak berhak, manusia tidak layak, manusia tidak lepas dari subyektifitas dan konflik kepentingan ketika menilai dirinya/institusinya sendiri, ketika ‘dipaksakan’ tetap diragukan obyektifitas dan kemurniannya.
Sistem penilaian dan segala macam persyaratan, akreditasi memang telah dibuat sebagai standar dan ukuran maksudnya baik untuk memotivasi, namun dalam pelaksanaan tidak selalu terimplementasikan dengan benar, akan ada faktor-faktor lain diluar yang telah di formalkan yang mempengaruhi. Selain itu penyusunan sistem penilaian itu sendiri apakah tidak lepas dari kepentingan personal dan pihak-pihak yang ingin ‘menang’ karena dia telah memenuhi syarat?. Faktanya di kemudian hari setelah berganti pemimpin selalu ada koreksi yang kadang tidak berkelanjutan tapi malah membatalkan, dulu ada sekolah yang di labeli sekolah Internasional sekarang tidak ada lagi.
Manusia kadang lancang, berani memberikan gelar kehormatan, klaim-klaim keunggulan yang sesungguhnya itu gelar2 kemuliaan, ranah sang Pencipta. Biarkanlah alam yang membuktikan ‘kehormatannya’ karena alam selalu merespon jujur apa yang terjadi di alam semesta ini.
Benar instruksi PP Muhammadiyah yang melarang PTMA memberikan gelar-gelar kehormatan yang dalam realitanya namanya manusia tidak lepas dari pragmatisme, meski pun dibungkus dengan jubah moral dan akademis.
Dalam diri manusia ada akal, nurani dan nafsu, kewajiban sebuah gerakan Islam seperti Muhammadiyah untuk mengelola 3 potensi dalam diri manusia itu untuk sebaik-baiknya kehidupan.
Gerakan Dakwah yang menekankan fungsi kontrol sering lebih substansial untuk mengendalikan manusia meskipun dia telah mencapai level ningrat dalam gelar, jabatan, status sosial, status keagamaan dan keturunan, karena tidaklah jaminan akan sesuai dengan kemuliaan gelar kepangkatan dan sosial tersebut yang lebih mengutamakan integritas moral dan keilmuan.
Keteladanan lagi-lagi lebih utama dari apapun di dunia ini.
Wallahu a’lam