Margo Hutomo
Allah Swt. berfirman:
*وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ *
Artinya :
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui“.
(Qs Al-Baqarah : 188).
Allah Swt. melarang manusia memakan harta yang bersumber dari cara yang haram, seperti perbuatan korupsi atau yang sejenisnya.
Menurut ulama tafsir, ayat diatas menunjuki adanya larangan mendapatkan harta dengan cara yang batil. Meskipun harta tersebut diperoleh berdasarkan hasil keputusan sah dari para hakim di pengadilan. Namun, jika diperoleh dari hasil membuat keterangan palsu atau sejenisnya yang bersifat menyimpang, maka statusnya tetap haram dan dosa.
Perilaku koruptif
Secara terminologi, kata korupsi tidak ditemukan dalam Al- Quran. Namun jika menilik Al-Quran secara mendalam (holistik) dan komprehensif (syamil), maka didalamnya akan ditemukan sejumlah larangan yang mengarah kepada perilaku koruptif.
Diantaranya sebagai berikut :
Pertama, Mencuri (as-sariqu).
Allah Swt. berfirman, artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“. (QS. al-Maidah : 38).
Menurut Ibnu Katsir, mencuri merupakan perilaku mengambil harta orang lain secara sembunyi- sembunyi tanpa kerelaannya.
Kata “wa” sebelum kata “as-sariqu” pada ayat diatas merupakan taukid. Yakni sebuah penegasan terhadap perintah potong tangan bagi pencuri laki-laki dan perempuan.
Jika dikaitkan dalam terminologi korupsi yang berlaku dalam perUndang-Undangan, maka korupsi merupakan bagian dari as-sariqu, sebab merugikan keuangan negara. Maka jika ada seseorang yang bertindak koruptif, bukan hanya layak disebut koruptor, tapi juga pencuri atau maling.
Pencuri atau maling uang negara yang mencapai Triliunan Rupiah itu lebih berbahaya. Sebab, memiliki daya rusak yang hebat bagi perekonomian sebuah bangsa. Apalagi dilakukan dengan cara sistematis, terstruktur dan massif.
Lazimnya keuangan negara dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi rakyat, perbaikan infrastruktur, menambah sarana dan prasarana pendidikan, membangun proyek monumental yang dapat menyerap tenaga kerja.
Namun semua hal itu menjadi tidak nyata, karena dirampas, dicuri, dirampok oleh oknum-oknum penguasa yang berani menyalahgunakan wewenang dan jabatan yang dipercayakan.
Kedua, berkhianat (ghulul).
Allah Swt. berfirman, artinya :
“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa saja yang dikhianatinya itu. Kemudian setiap diri akan diberi pembalasan yang setimpal atas apa yang ia kerjakan (adil, obyektif), sedang mereka tidak dianiaya.”
(Qs. Ali Imran : 161)
Para ulama menguraikan bahwa ghulul merupakan sebuah perilaku mengambil harta diluar hak yang telah ditetapkan alias berkhianat. Dalam konteks ayat diatas adanya harta rampasan perang (ghanimah). Oleh sebab itu, ghulul merupakan bagian dari perilaku koruptif. Dimana pelakunya diancam dengan azab yang sangat keras.
Dari sana kita dapat memahami bahwa korupsi bukan hanya dilakukan oleh para pejabat negara atau para pegawai yang ada dibawahnya. Tetapi, korupsi bisa saja dilakukan oleh pengelola zakat (amil) dengan menggelapkan uang zakat; pedagang yang mengurangi takaran/ timbangan; penggelapan uang sedekah dan infak di masjid/surau; dan sebagainya.
Oleh karena itu, perilaku korupsi tidak hanya terjadi di kantor pemerintahan, tetapi bisa gentayangan di masjid, lembaga amal dan zakat (filantropi), lembaga pendidikan, dan pasar. Hal ini bisa terjadi, karena banyak orang yang “tidak merasa” berperilaku koruptif.
Padahal jika mau sadar dan introspeksi, mereka pasti tahu dan “merasa/mengakui” bahwa dirinya sendiri sesungguhnya sedang berperilaku koruptif.
Ketiga, memakan harta orang lain secara tidak benar (bathil).
Allah Swt. berfirman di dalam Qs. al-Baqarah ayat 188, sebagaimana tersebut diawal tulisan ini.
Sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat ini berkenaan dengan Imril Qais yang berkelahi dalam perkara perebutan tanah dengan bersumpah di depan hakim. Padahal tanah itu bukan milik/hak-nya. Ayat ini diturunkan sebagai larangan untuk merampas (al-hirabah) dan memakan harta orang lain. Korupsi bagian dari memakan harta rakyat secara tidak benar.
Keempat, suap (risywah)
Allah Swt. berfirman, artinya :
“Dan sesungguhnya Aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu. Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata ‘Apakah patut kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (Qs. an-Naml : 35-36)
Risywah merupakan sebuah pemberian (hadiah) kepada hakim atau seorang penguasa yang bertujuan untuk memenangkan perkara atau putusan dengan cara yang tidak dibenarkan (batil).
Dalam sebuah riwayat disampaikan, bahwa Rasulullah saw. melaknat setiap orang yang terlibat penyuapan, sebagaimana sabdanya :
“Laknat Allah atas pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya yakni orang yang menghubungkan keduanya.”
(HR. Ahmad).
Hadits diatas secara jelas menyampaikan, bahwa penyuapan merupakan bagian dari perilaku koruptif. Sebab, korupsi merupakan perilaku yang sangat merusak, penyakit sosial-ekonomi akut, penyebab terhambatnya pembangunan, dan perusak tatanan sosial kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama.
Korupsi bukan hanya soal merampas uang negara, tetapi perilaku koruptif juga menyangkut perbuatan menipu, curang, khianat, dan mengambil hak orang lain tanpa dasar yang benar. Perilaku koruptif tidak hanya terjadi di kantor pemerintah, namun juga terjadi di pasar, lembaga pendidikan, masjid, lembaga amil zakat infaq sedekah, dan ainnya.
Hanya manusia yang benar-benar beriman dan merasa dirinya selalu diawasi (muraqabah) oleh Allah swt. sajalah yang akan terhindar dari perilaku yang koruptif.
Wallahu A’lam
Batang, 18 Januari 2024