Gus Zuhron
Ibadah Haji telah selesai dilaksanakan. Namun demikian, ada banyak cerita yang patut direnungkan dan didiskusikan. Salah satu yang perlu mendapatkan perhatian adalah beberapa perilaku keagamaan yang penuh dengan dinamika dan keunikan.
Praktik-praktik itu terkesan ganjil dan butuh penelusuran serius mengenai dasar hukum dan argumentasinya. Jika semua praktik itu mempunyai rujukan yang kuat, maka perlu ditiru dan ditradisikan dalam kultur keagamaan Muhammadiyah. Akan tetapi kalau faktanya adalah sebaliknya, maka tugas Muhammadiyah untuk memberikan pencerahan kepada ummat.
Diantara persoalan yang agak ganjil dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, ajaran mengenai sholat likhurmatil wakti (sholat untuk menghormati waktu). Sholat ini dikhususkan dalam kontek kondisi darurat seperti status musafir. Uniknya praktik ini dipahami dapat mengganti status sholat fardhu dan dapat dilakukan dalam kondisi tanpa bersuci. Salah satu argumen yang dikemukakan adalah status kedaruratan.
Kedua, menyembelih hewan Qurban (Dam) setelah melaksanakan umroh wajib. Ini dikhususkan pada jama’ah haji tamatuk. Waktu penyembelihannya adalah langsung setelah rangkaian umroh selesai. Padahal saat itu waktu puncak haji masih jauh. Yang menarik lagi justru saat puncak haji mereka tidak lagi menyembelih hewan qurban, sebab sembelihan dikala umroh wajib dianggap telah mewakili rangkaian dam yang harus ditunaikan.
Ketiga, menjamak dalam melempar jumroh. Ada seorang kyai dari daerah tertentu memberikan fatwa kepada para jama’ahnya bahwa menjama’ dalam melempar jumroh diijinkan. Artinya mereka yang melempar jumroh pada tanggal 10, 11 dan 12 zulhijjah (nafar awwal) dapat diringkas dalam satu hari. Semua aktivitas itu dapat diselesaikan pada tanggal 10 zulhijjah berbarengan dengan jumroh Aqobah.
Keempat, melaksanakan umroh sunnah lebih dari sekali dalam satu hari. Semangat membersihkan dosa yang begitu membuncah menyebabkan ada sebagian jama’ah menggunakan aji mumpung untuk memaksimalkan ibadahnya. Umroh sunnah menjadi rangkaian ibadah yang cukup diminati. Iming-iming pahala besar menjadi daya tarik tersendiri bagi jamaa’ah pemuja pahala.
Kelima, kewajiban niat berpindah mazhab. Paham ini disampaikan sebagai upaya antisipasi perbedaan pemahaman mazhab. Arab Saudi memang lebih dominan dengan paham keagamaan mazhab hanafi. Meskipun mereka tidak pernah mendeklarasikan secara resmi sebagai penganut mazhab tertentu. Fakta ini menyebabkan perbedaan cara pandang keagamaan yang hanya dapat dijembatani dengan cara berpindah mazhab.
Contohnya seperti qunut dan tidak qunut dalam shalat Subuh, bersentuhan dengan lawan jenis dan seterusnya. Mazhab syafi’i berpandangan bahwa bersentuhan dengan lawan jenis itu menyebabkan batalnya status bersuci. Padahal saat melaksanakan thowaf rasanya mustahil untuk tidak bersentuhan meskipun konteknya tidak disengaja. Maka jalan yang ditempuh adalah pindah mazhab.
Jika ditelusuri, masih banyak praktik ganjil yang terjadi dan perlu dicari akar dalil serta argumentasinya. Persoalan ini menjadi cukup serius karena menyangkut urusan ibadah yang merupakan salah satu pilar pokok agama. Kalau perbedaan itu sekedar masalah mu’amalah barangkali toleransi dapat dikedepankan, tetapi jika sudah menyangkut masalah ibadah sebaiknya perlu mendapatkan penyelesaian yang lebih sesuai dengan syariat.
_KSA, 5 Juli 2024_