Gus Zuhron
Ada yang berbeda dengan hari ini. Masyarakat Dusun Demo Wetan Desa Kalibening Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang mengundang untuk sebuah acara halal bi halal. Dusun yang terletak di lereng gunung Merapi itu mempunyai jumlah Kepala Keluarga mendekati 200 dengan total penduduk kurang lebih 500 jiwa. Mayoritas adalah warga persyarikatan Muhammadiyah. Meski berada di tempat yang jauh dari hiruk pikuk ramainya perkotaan namun sang surya mampu tumbuh subur di tempat itu.
Berbeda dengan acara halal bi halal di tempat lain. Masyarakat Muhammadiyah di Dusun Demo Wetan melanggengkan acara tahunan ini dengan mengadakan pengajian dan setelah itu pentas kesenian tradisional Topeng Ireng. Tidak lupa panitia penyelenggara dan masyarakat yang memeriahkan acara itu melengkapi suasana dengan udud berjama’ah.
Kenapa udud berjama’ah?
Bisa jadi maksudnya agar pahalanya berlipat menjadi 27 derajat he..he..
Peristiwa di atas sesungguhnya memuat tiga variabel menarik untuk didiskusikan.
Pertama, tradisi halal bi halal.
Tradisi ini dalam iklim Muhammadiyah sejatinya sudah dilaksanakan sejak tahun 1924 (baca majalah Suara Muhammadiyah terbitan tahun itu). Muhammadiyah sejak awal tidak menolak tradisi Nusantara ini, justru yang dilakukan adalah memodifikasi dan modernisasi terhadap ritual tahunan itu. Artinya jika acara halal bi halal juga marak di kalangan warga persyarikatan saat ini, sejatinya mempunyai akar kesejarahannya.
Kedua, hadirnya kesenian Topeng Ireng dalam acara halal bi halal.
Topeng Ireng sendiri bermakna “Toto Lempeng Irama Kenceng”. Adalah kesenian yang bermula dari Desa Tok Songo Borobudur. Kesenian ini sudah lahir sejak tahun 1930 dengan pesan keagamaan yang kuat dan gerakan yang merupakan bagian dari seni bela diri. Tentu tidak ada hubungan sejarah antara halal bi halal Muhammadiyah dengan Topeng Ireng. Namun kedua tradisi itu dapat disatukan dalam satu tarikan nafas yang diterima oleh semua pihak. Ini menjadi salah satu bukti dari sekian bukti bahwa hakikatnya Muhammadiyah tidak anti terhadap tradisi.
Ketiga, udud berjama’ah.
Pemandangan ini tentu kontras dengan fatwa tarjih yang mengharamkan rokok. Ada banyak kemungkinan kenapa mereka menikmati kepulan asap tembakau. Bisa jadi fatwa itu tidak pernah sampai ke akar rumput sehingga mereka tidak memahami bahwa sudah ada fatwa haram mengenai rokok.
Kemungkinan lain adalah mereka paham bahwa fatwa tarjih itu sifatnya tidak mengikat karena produk tarjih yang sifatnya mengikat itu tidak disebut sebagai fatwa melainkan putusan. Karena tidak mengikat maka menikmati rokok bukanlah kesalahan.
Dugaan lain yang lebih kuat adalah kebiasaan merokok sudah menjadi bagian dari budaya.
Jika merujuk pada syari’at tentu sulit menemukan dalil tentang perintah atau larangan mengenai halal bi halal dengan semua rangkaian di dalamnya. Ini lebih pada peristiwa budaya yang termuat unsur-unsur nilai agama. Dalam kaidah fiqih kita menemukan rumusan “Al Addatu Al Muhakkamah” atau “adat itu dapat menjadi pertimbangan hukum“. Tentu saja adat yang tidak secara terang benderang berhadapan secara diametral dengan syari’at.
Model pendekatan kebudayaan masyarakat akar rumput Muhammadiyah ini cukup menarik. Dalam bahasa Marshal G Hudson disebut dengan istilah “islamicate” ( lebih jelasnya dapat dibaca dalam The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization).
Islamicate adalah bersandingnya antara agama dengan budaya dalam satu arus yang sama namun tidak saling bercampur dan tidak bertentangan. Identitas agama tidak pudar dan identitas budaya tetap bertahan. Mungkin inilah salah satu bentuk kongkrit dakwah kultural, sebuah konsep sederhana, membumi, menggunakan bahasa sesuai kaumnya dan tidak melupakan pesan-pesan esensial Islam. Kemasan dakwah semacam ini akan lebih menarik lagi jika udud berjama’ahnya tidak perlu disandingkan dengan halal bi halal dan Topeng Ireng he…he…..
21 April 2024
*) Sekretaris MPKSDI PWM Jateng, Dosen UNIMMA Magelang.