Wahyudi Nasution
“Pak Bei kok lama gak nongol di status FB, ada apa? Sehat, kan?” tanya Lek Sodiq via pesan WA. Ini penanya ketiga via WApri dan hanya dijawab sekenanya oleh Pak Bei : “Ya ditunggu saja” atau “Masih nunggu si Ilham belum datang” atau ‘Durung wayahe‘. Pertanyaan pun tidak berlanjut. Pak Bei kembali asyik dengan aktivitas sebelumnya.
Tentu jawaban Pak Bei akan berbeda kalau pertanyaan itu disampaikan secara langsung, ketemu tatap muka sambil wedangan, misalnya. Biasanya Pak Bei melayani setiap obrolan dengan sabar, dijawabnya semua pertanyaan dengan baik, dan dijelaskannya panjang lebar bila penanya perlu perjelasan.
Tapi kadang-kadang Pak Bei juga lebih memilih mendengarkan saja, sambil sesekali “nyenggaki” atau memancing pertanyaan agar temannya yang lebih banyak bicara. Seperti dengan Kang Narjo, misalnya. Pak Bei tahu Kang Narjo kadang butuh curhat, butuh tempat membuang limbah kegelisahan, butuh teman _”glenak-glenik”_. Jadi dia yang kadang justru lebih banyak bicara kalau ketemu Pak Bei, seakan sedang menyampaikan aspirasi.
“Soal beras kok jadi ewuh-aya begini ya, Pak Bei”, kata Kang Narjo sambil turun dari motornya.
Pak Bei yang lagi asyik baca berita online pun langsung menutup HPnya, membuka dan melepas kacamata, lalu turun duduk lesehan bersama Kang Narjo.
“Bagaimana Pak Bei membaca situasi perberasan yang gonjang-ganjing tak kunjung selesai ini?” tanya Kang Narjo.
“Ya biasa saja, Kang. Produktivitas petani kita masih rendah, ditambah musim kemarau yang bikin banyak sawah kekeringan dan gagal panen”.
“Ya itu, Pak Bei. Katanya dampak Elnino. Gabah jadi langka sehingga harga beras di pasaran jadi mahal dan naik terus.”
“Tapi petani justru senang lho, Kang. Baru kali ini harga gabah panenannya dihargai tinggi oleh para tengkulak, jauh lebih tinggi dari harga yang dipatok Pemerintah. Dibayar cash lagi.”
Cahya putra sulung Pak Bei datang membawa nampan dengan dua gelas kopi.
“Monggo ngopi dulu, Pakdhe Narjo” Cahya mempersilakan sahabat ayahnya.
“Ooh ya, Le. Terima kasih, ya. Sini ikut ngobrol dulu,” Kang Narjo ngajak Cahya gabung ngobrol.
“Ngobrol apa, Pakdhe?” tanya Cahya.
“Ini lho, Le. Negeri kita ini kok semakin mengkhawatirkan.”
“Yang mana, Pakdhe?”
“Kedaulatan pangan kita dalam bahaya, Le. Ini lagi gonjang- ganjing tak kunjung berakhir.”
“Ooh soal harga beras yang mahal dan terus naik ini, maksudnya?”
“Ya itulah, Le. Kelihatannya cuma soal beras, tapi menurutku ini soal kedaulatan negara sedang dalam ancaman, dalam bahaya, Le.”
“Kok jadi sejauh itu, Pakdhe?”
“Ya jelas to, Le. Kita jangan merasa merdeka lalu teriak-teriak ‘merdeka’ kalau ternyata soal pangan untuk rakyat tidak mampu berdaulat. Kalau pangan kita dikuasai hanya oleh segelintir orang, lalu jutaan rakyat berada dalam ancaman kesulitan mendapat makanan, apakah itu kemerdekaan? Kalau isi perut jutaan rakyat sehari-hari harus menunggu bantuan sedekah atau bantuan sosial dari Pemerintah, apa itu cita-cita proklamasi 45?”, Kang Narjo seakan mahasiswa sedang pidato di mimbar bebas menjelang Reformasi 1998.
“Omonganmu kok kadohan to, Kang. Ngelantur ke mana- mana. Mbok agak diremlah”, Pak Bei mengingatkan sahabatnya.
“Gak papa, Yah. Biarkan saja. Cahya senang kok Pakdhe Narjo masih punya semangat ’45 begini,” kata Cahya.
“Masalahnya kan sudah jelas, Le. Sangat jelas, cetha wela-wela, kata orang Jawa.”
“Jelas bagaimana, Pakdhe?”
“Negara pasti tahu dan punya data berapa luas lahan pertanian dan berapa hasil per musim tanam padi kita, juga tahu berapa produksi padi per tahun. Tentu punya hitungannya.”
“Ya pasti, Pakdhe. Kan ada BPS yang selalu update data“.
“Betul, Le. BPS pasti juga punya data berapa lahan pertanian kita berkurang setiap tahun karena berubah jadi properti dan jalan tol. Jadi BPS sudah tahu betul berapa total produksi beras kita setiap tahun.”
“Pasti tahu, Pakdhe“.
“BPS pasti juga punya data ada berapa ribu usaha rice-mill atau penggilingan padi dan kapasitas produksinya di setiap daerah. Juga tahu apakah keberadaan rice mill itu sudah mencukupi untuk memproses pasca panen dari seluruh lahan yang ada”, tanya Kang Narjo retorika ala rakyat jelata.
“Iya, Pakdhe. Pasti tahu“, jawab Cahya.
“Tapi kenapa Pemerintah mengijinkan para konglomerat juga masuk di sektor usaha beras?”
“Apa masalahnya, Pakdhe? Ini kan jamannya perdagangan bebas. Semua orang punya hak yang sama untuk berdagang“, sergah Cahya.
“Nalarku ini sederhana saja kok, Cah Bagus. Coba hitung-hitungan. Kita berasumsi saja, ya.”
“Bagaimana, Pakdhe?”
“Seandainya produksi padi dari total luas lahan kita hanya 2 juta ton per musim tanam, dan sudah ada 200 unit rice-mill dengan kapasitas produksi masing-masing 10 ton per unit. Itu artinya seluruh hasil panen dari petani kita sudah tertangani oleh 200 unit rice-mill yang ada. Dan selama ini tidak terjadi gejolak harga beras di pasaran.”
“Iya benar, Pakdhe“, Cahya ‘ngompori‘.
“Lha kalau kemudian Pemerintah mengijinkan pendirian pabrik beras Skala Raksasa dengan mesin canggih, dengan kapasitas produksi 1.000 ton gabah kering panen per hari, itu kan sama saja membiarkan terjadi perampasan pekerjaan 200 penggilingan skala kecil yang sudah ada selama ini. Iya to, Le?”, ungkap pakdhe Narjo penuh semangat.
“Iya ya, Pakdhe. Seharusnya pekerjaan bisa dibagi untuk 200 usaha milik rakyat, sekarang dimonopoli oleh satu pengusaha saja. Disedot semua oleh satu raksasa”, Cahya menimpali.
“Betul, Le. Itulah kenapa dimana- mana terjadi usaha penggilingan padi milik rakyat berhenti beroperasi, alias tutup. Tidak kebagian pekerjaan, Le.”
“Kabarnya harga gabah di tingkat petani jadi mahal dan terus naik ya, Pakdhe?” tanya Cahya.
“Ya pasti, Le. Untuk memenuhi kapasitas produksinya, pabrik besar itu berani membeli mahal gabah kering panen dari petani. Berapapun petani minta, pasti dibayar cash. Penggilingan kecil jelas tidak mampu bersaing, Le”, kang Narjo berusaha menjelaskan.
“Ooh jadi itu ya masalahnya, kenapa kamarin ribuan usaha rice-mill di Banten demonstrasi menuntut agar pabrik beras skala raksasa itu ditutup”, komentar Cahya berdasarkan berita Online.
“Ya itulah, Le. Tapi..yah sudahlah. Para pemangku kepentingan justru menyalahkan petani dan musim kemarau. Petani juga senang harga panenannya bagus kok. Bisa apa kita, Le?”
“Berdoa saja, Pakdhe“, Cahya menimpali sekenanya.
“Terus, doa apa yang kira-kira cocok, Le?”
“Sapu jagad, Pakde….wkkkk.”
Kang Narjo dan Pak Bei tertawa mendengar guyonan Cahya. Itu goyunan “pari-kena“, bercanda tapi mengena. Karena memang sesungguhnya sebagai rakyat biasa, Kang Narjo dan Pak Bei juga menyadari tidak berdaya melakukan perubahan. Hanya doa sapu jagad yang mungkin bisa dipanjatkan. Semoga ke depan situasi menjadi lebih baik, negeri ini bisa berdaulat pangan. Aamiin.
Klaten, 9 September 2023
*) Wahyudi Nasution, Anggota Pimpinan MPM PP Muhammadiyah, Jamaah Tani Muhammadiyah (JATAM).