NGAJI DI SALAFI, BEKERJA DI MUHAMMADIYAH, DAN AKTIF DI NU

Opini99 Views

Oleh: Gus Zuhron – (Warga Muhammadiyah)

Fordem.id – Judul di atas tampaknya mustahil terjadi dalam dunia nyata. Fakta memang membuktikan ketiganya sering tidak sinkron dalam banyak hal. Paham agamanya berbeda, model kajian berbeda, keputusan-keputusan fiqihnya berbeda, tradisi keagamaannya berbeda, sikap politiknya berbeda. Yang menyamakan ketiganya adalah sama-sama tidak memperjuangkan tegaknya khilafah.

Problemnya, perbedaan itu berujung pada sikap yang tidak mungkin disatukan. Bahkan terkadang sering muncul tuduhan-tuduhan serius yang menyebabkan ketegangan sesekali waktu terjadi. Ada perasaan dari masing-masing kelompok sebagai pemegang otoritas kebenaran. Hal ini wajar, karena jarang dilakukan kajian komparasi dan kompilasi antar mazhab pemikiran yang berbeda. Ketiganya tidak berani keluar dari kotak pandora untuk melihat khasanah lain di luar dirinya.

Baca Juga:  MUHAMMADIYAH HARUS AMBIL PERAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DI PERBATASAN ENTIKONG

Kajian titik temu tidak pernah menjadi agenda bersama, yang lebih sering dikedepankan adalah titik pisahnya. Agaknya situasi semacam ini masih akan terus berlanjut sampai batas waktu yang belum ditentukan. Mimpi besar menyatukan umat Islam akan menjadi pekerjaan rumah yang panjang dan masih menemui jalan buntu. Hilal kesatuan umat belum menampakkan tanda-tanda yang menggembirakan.

Kalangan ulama muda yang berlatar belakang berbeda sebenarnya sudah berupaya untuk menyatukan beragam perbedaan. Sebut saja Adi Hidayat (Muhammadiyah), Abdul Somad (NU), Salim A. Fillah (PKS), Felix Siau (HTI) dan lainnya. Namun, keberadaan mereka masih sekedar menyatukan masa mengambang yang masih bisa keluar masuk berbagai kelompok. Bahkan terkesan orang-orang ini justru menjadi arus tersendiri di luar mainstream kelompok keagamaan yang ada.

Baca Juga:  TATA LETAK NAFSU

Para aktor utama dari kelompok-kelompok besar keagamaan masih duduk manis di singga sana masing-masing. Forum-forum dialog yang terjadi belum menyentuh pada jantung persoalan yang sebenarnya. Pada level elit perdebatan mengenai fiqih dapat dikatakan telah terurai. Salah satu indikatornya adalah penghormatan terhadap perbedaan. Tetapi pada level masyarakat akar rumput perdebatan mengenai khilafiah terus direproduksi sehingga tidak pernah mencapai ujungnya.

Dalam persoalan politik, jarak pemisah antar elit keagamaan sangat terasa. Hal ini dapat dibuktikan dengan perolehan suara partai dengan basis massa Islam semakin hancur berkeping-keping. Godaan kekuasaan sering menjadi penyebab umat ini sulit disatukan. Tarikan politik yang memberikan iming-iming menggiurkan menjadikan agenda utama umat terkaburkan.

Baca Juga:  Menyemai Minat Politik di Kalangan Muda: Membangun Perubahan Positif Untuk Masa Depan

Mungkin takdir sejarah memang tidak pernah menghendaki para pengikut Nabi ini bersatu. Bahasa kesatuan umat yang dibicarakan Al-Qur’an terlalu mewah untuk dipahami dan diterapkan. Ego dan kerdilnya cara berfikir menjadi hambatan utama desain besar tentang umat sulit terwujud. Bisa jadi, kalau ada orang yang masih bermimpi tentang kebersatuan akan dianggap gila, karena orang itu berharap pada kemustahilan.

Di tengah kemustahilan itu masih ada angan-angan yang membumbung tinggi ke angkasa. Rasanya menarik juga kalau suatu saat ada acara Haul Kiyai Dahlan, dipimpin oleh para Kiyai NU, dilaksanakan di Kampus Muhammadiyah, diawali dengan menyanyikan lagu Sang Surya dan diakhiri dengan tausiyah Ustadz Khalid Bashalamah…he….he…..kewanen bosku.

01 Oktober 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *