Wahyudi Nasution
Seperti biasanya, setiap sore bila cuaca sedang tidak hujan, krucil-krucil anak-anak tetangga, putra-putri, bermain riang gembira di halaman nDalem Pak Bei. Macam-macam permainannya, tampaknya mereka terpengaruh tontonan yang lagi hit di televisi.
Sejak ada Piala Dunia beberapa waktu lalu, mereka bermain bola plastik sambil tangannya memegang “thek-thek“. Thek-thek dimainkan ketika timnya berhasil menyarangkan goal ke gawang lawan. Pak Bei dan Bu Bei suka sekali melihat tingkah krucil-krucil yang lucu itu sambil menikmati kopi dan teh panas di teras. Mungkin sudah naluriah, orang yang semakin bertambah usia jadi suka menikmati kelucuan anak-anak kecil yang lagi bermain.
Sayang sekali suasana ceria anak-anak sore ini harus terhenti, karena kedatangan rombongan tamunya Pak Bei yang tetiba datang gemruduk. Ada 4 sepeda motor parkir di halaman sehingga krucil-krucil terpaksa menyingkir ke halaman tetangga.
“Assalaamu’alaikum..”, seorang tamu mengucap salam. Ternyata Narjo loper koran yang datang setiap pagi itu, datang berombongan. Tumben dia berpakaian lebih rapi.
“Wa’alaikumsalam…. Kang Narjo to ini? Ayo silakan duduk. Monggo-monggo,” Pak Bei mempersilakan tamu-tamunya duduk.
“Kok tumben, Pak Narjo? Ada apa ini kok grudukan sore-sore?, tanya Bu Bei.
“Ngantar teman-teman pemuda ini, Bu Bei. Mereka pengin kenalan dan ngobrol dengan Pak Bei,” jawab Narjo.
“Ooh ya monggo, Pak Narjo. Mas-Mas mau minum apa ini? Kopi, teh, wedang uwuh?,” tanya Bu Bei.
“Apa saja, Bu Bei. Jangan repot-repotlah,” kata Narjo.
Bu Bei langsung beranjak ke dapur. Tak berapa lama, 8 gelas kopi dan sepiring pisang kepok rebus sudah tersaji di meja, siap menemani obrolan Pak Bei dengan tamu-tamunya.
“Apa yang bisa saya bantu, Kang?,” tanya Pak Bei, setelah Narjo memperkenalkan teman-temannya satu per satu.
“Ayo siapa yang mau matur dulu ke Pak Bei, mumpung ketemu?” tanya Narjo pada teman-temannya. “Kamu dulu, Ji. Ngomonglah,” Narjo menyuruh Aji, pemuda yang tampak paling bersih kulitnya dan rapi dandanannya.
“Begini, Pak Bei. Tapi saya mohon maaf dulu,” Aji mulai bicara.
“Lha belum apa-apa kok minta maaf to, Ji. Mbokya ngomong dulu,” kata Narjo.
“Tadi setelah sholat ashar, seperti biasa kami ngobrol-ngobrol di serambi masjid. Ndelalah tadi obrolan kami seputar politik. Ya maklum, Pak Bei, di tahun politik ini kita setiap hari dijejali berita dan obrolan politik di televisi dan di group-group WA. Biasalah, seputar capres, koalisi partai politik, partai baru, dan sebagainya. Yang bikin miris, antar pendukung itu tampak saling menyerang, saling menguliti kekurangan lawan politik dan calon presidennya,” Aji tampak menghela nafas sambil berpikir.
“Dan kami pun terbawa suasana itu, Pak Bei,” Azis menimpali.
“Kami jadi mikir juga, bagaimana sikap kami pada Pemilu bulan Februari nanti? Kami mau ikut mendukung siapa?,” lanjutnya.
“Yang pasti kami ingin ada perubahan, Pak Bei. Mosok negeri yang subur dan berlimpah kekayaan alam ini kehidupan rakyatnya justru semakin berat, semakin melarat. Ini jelas ada yang salah,” kata Narwan.
“Benar, Pak Bei,” Aji menyahut.
“Setiap bulan rakyat kita disogok dengan sembako PKH, BLT, dan Bansos agar diam dan tidak ribut, sementara kekayaan alam dirampok besar- besaran, harga-harga kebutuhan hidup semakin mahal, pajak PBB, tarif listrik, dan harga BBM dinaikkan terus. Kita saksikan para pejabat dan wakil rakyat justru ikut berpesta-pora menikmati hasil rampokan itu. Ini sangat menyakitkan, Pak Bei. Harus bagaimana kita ini? Diam saja atau perlu bersama-sama berjuang melakukan perbaikan?,” sambungnya.
“Saya tadi tidak bisa menjawab, Pak Bei, makanya saya ajak pemuda-pemuda ini sowan ke sini,” kata Narjo dengan gayanya yang ‘plengah- plengeh‘.
“Tolong Pak Bei bantu ‘eguh-pertikel‘ untuk anak-anak ini. Bagaimana sebaiknya mereka harus bersikap di Pemilu nanti?,” sambung Narjo.
“Wah berat ini, Kang,” kata Pak Bei.
“Ya memang berat. Makanya saya tidak bisa menjawab,” kata Narjo.
“Saya ini tidak punya pengalaman jadi politisi, Kang.”
“Tapi Pak Bei sudah menyaksikan kahanan politik sejak masa jaya-jayanya Orde Baru hingga gonta- ganti Presiden di era reformasi ini. Pasti sudah bisa _’niteni’_ dan bisa ngajari anak- anak millenial ini.”
“Walah, Kang Narjo ini, lho. Tak kandhani yo, sesungguhnya anak-anak millenial ini lebih cerdas dari generasi kita, lebih kaya informasi, dan yang pasti mereka punya imajinasi sendiri tentang masa depannya.”
“Tapi kami bingung juga memahami keadaan negara kita saat ini, Pak Bei”, Narwan menyela. “Kami butuh tempat curhat. Tiap hari seolah kami digiring supaya menjadi politisi. Padahal kalau mau jadi politisi kan harus kaya dulu. Harus punya modal besar dulu. Ya jelas, kami yang masih sekolah dan kuliah ini tidak mampu ikut ke sana,” sambungnya.
“Mereka juga bukan anak pejabat, Pak Bei. Bukan anak Bupati, Walikota, Gubernur, apalagi Presiden,” Kang Narjo menimpali.
“Begini saja, Dik,”_ Pak Bei merespon Narwan.
“Mbok kalian ini sekolah dan kuliah dulu saja yang bener. Jadilah generasi yang pintar agar tidak gampang dibodohi orang. Toh orang tua kalian masih mampu membiayai” lanjut Pak Bei.
“Ya tidak boleh begitu, Pak Bei,” Azis menyahut.
“Memang kami harus belajar sungguh- sungguh untuk masa depan kami. Tapi kami juga tidak mungkin diam saja setiap hari menyaksikan ketidakberesan pengelolaan negara yang ugal-ugalan ini,” lanjutnya.
“Ugal-ugalan bagaimana maksudmu, Dek?” tanya Pak Bei.
“Pak Bei pasti juga tahulah bagaimana masa depan kami ini harus mewarisi hutang Pemerintah yang sangat besar, tidak kurang dari Rp 7.000 Triliun, harus menerima kenyataan bahwa usaha-usaha strategis yang harusnya dikuasai negara sudah dijual ke korporasi asing, kontrak-kontrak jangka panjang sektor pertambangan oleh asing dan aseng, bahkan ada pulau-pulau yang mau dijual ke asing juga. Ini benar-benar edan kan, Pak Bei?” kata Aji dengan ekspresinya yang tampak geram.
“Adik-Adik, senang sekali saya mendengar obrolan kalian. Ini tema yang berat, sangat aktual, dan sangat menarik. Tentu tema ini tidak akan habis kita obrolkan dalam waktu singkat. Mungkin perlu bermalam- malam untuk kita bisa memahaminya,” kata Pak Bei.
“Benar, Pak Bei. Sayang sekali, sebentar lagi waktu maghrib akan tiba,” jawab Narjo.
“Iya, Kang. Tanpa bermaksud mengusir, saya juga harus siap-siap ke masjid. Tapi sekali lagi, saya sangat senang bisa ngobrol dengan adik-adik sore ini. Kapan-kapan kita lanjutkan ya,” Pak Bei mengakhiri obrolan. Narjo dan rombongan pun berpamitan.
Klaten, 26/12/2023
#serialpakbei
#mpmppmuhammadiyah
#jamaahtanimuhammadiyah
#lpumkmpdmklaten