BOYOLALI BERTAUBAT

Oleh: Mahmuduzzaman – Wakil Ketua PDM Boyolali bidang Hukum dan HAM, Hikmah dan Kebijakan Publik

Setiap manusia pernah berbuat kesalahan. Baik kesalahan itu disengaja maupun yang tidak disengaja. Jika kesalahan itu menyangkut kesalahan kepada Allah SWT, maka ia harus bertaubat dengan cara memperbanyak istighfar (momohon ampunan) disertai upaya sungguh-sungguh untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela. Namun apabila kesalahan itu dilakukan terhadap manusia, maka ia harus meminta maaf kepada manusia. Kesalahan bisa berujung pada sosok pribadi maupun kesalahan terhadap orang banyak yang melibatkan publik secara umum.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata taubat berarti tindakan kembali kepada Tuhan setelah melakukan dosa atau kesalahan. Bukti kembali ke jalan Tuhan ditandai dengan rasa penyesalan dan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut. Seseorang dapat dikatakan sedang bertaubat jika berkomitmen kuat untuk memperbaiki diri, menjaga nilai-nilai moral, agama, dan terus berbuat kebajikan. Tentu, pertaubatan butuh proses dan waktu yang harus dijalaninya.

Memilih Pemimpin

Dalam kontek kepemimpinan, pemimpin yang bertaubat adalah mereka yang berkomitmen untuk berpolitik secara bersih, membuat kebijakan yang bermanfaat besar bagi rakyat. Wujud komitmen nyata seorang pemimpin adalah menebus kesalahan dengan tindakan nyata mewujudkan kebajikan publik. Sang pemimpin tidak lagi melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan sebelumnya, termasuk memanipulasi komitmennya karena sedang masa kampanye menarik simpati.

Dalam padangan ulama fikih, taubat seorang pemimpin memiliki dimensi yang lebih luas dari pada individu biasa. Pemimpin memiliki tanggung jawab besar terhadap rakyat yang dipimpinnya. Sebab dosa dan kesalahan yang dilakukan seorang pemimpin tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, melainkan juga berdampak kepada orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Seorang pemimpin yang bertaubat secara tulus tidak hanya memperbaiki dirinya sendiri. Akan tetapi ia juga harus berkeinginan memperbaiki keadaan masyarakat.

Baca Juga:  JAKARTA NGANTUK !

Imam Al-Mawardi dalam “Al Ahkam al Sulthaniyah” menyatakan bahwa tugas pemimpin adalah menegakkan keadilan. Taubatnya pemimpin harus berorientasi pada perbaikan ketidakadilan yang telah terjadi. Kabupaten Boyolali dalam 15 tahun terakhir masih memperlihatkan diskriminasi dan ketidakadilan. Distribusi anggaran hanya digulirkan untuk kalangan yang memenangkan pilkada. Praktik distribusi anggaran yang hanya ditujukan kepada kelompok yang memenangkan saat momentum pilkada memang harus segera dihentikan.

Sejarah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Boyolali selama 15 tahun terakhir memperlihatkan rekam jejak demokrasi yang kurang substansif (mandul). Kebebasan warga untuk menyampaikan sumbang saran dan kritik konstruktif, ditanggapi dengan mengkooptasi atas serangkaian tindakan intimidasi. Aparatusr Sipil Negara (ASN) yang tidak sehaluan dan mendukung penguasa dimutasi jauh dari tempat tinggalnya.

Rakyat dihadapkan dengan perlakuan yang diskriminasif dan jauh dari nilai demokrasi yang semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan, kejujuran, fairness, kemaslahatan, “nguwongke”, keadilan (tidak dzalim), kesejahteraan sosial, manfaat, kemanusiaan yang adil dan beradab. Realisasi anggaran yang seharusnya untuk rakyat seringkali hanya dinikmati sekelompok timses Paslon yang memenangkan pilkada.

Bagi yang tidak sejalan, jangan berharap akan mendapatkan alokasi anggaran ataupun kucuran bantuan meskipun dalam konteks pembangunan wilayah (Kabupaten/Kecamatan/Desa-Kelurahan/Kampung, dll).

Menyambut pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) kabupaten Boyolali (27/11/24) sudah selayaknya siapa pun yang terpilih nantinya sebagai pemimpin harus mampu merangkul seluruh masyarakat. Pemimpin Boyolali sudah seharusnya mengayomi, melindungi, memfasilitasi serta menyejahterakan rakyat. Bukan pemimpin yang membuat rakyat makin menderita dan putus asa. Bukan pemimpin yang arogan dan tidak berjiwa negarawan.

Baca Juga:  BOYOLALI KEMBALI TERSENYUM

Bertaubat

Dalam konteks religiusitas untuk Boyolali ke depan, Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang bertaubat. Mengingat ada kaitan dengan keberkahan Boyolali nantinya. Sebab pertaubatan dipandang sebagai bentuk kasih sayang dan pengampunan Tuhan terhadap manusia.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. 

(QS. Al-Baqarah [2] : 222).

Secara spiritual, makna taubat merupakan langkah mendekatkan diri kepada Tuhan, karena menyadari kelemahan manusia, dan meraih kedamaian batin melalui pengampunan ilahi. Boyolali harus bertaubat. Demikian pula bagi para pemimpin Boyolali yang saat ini masih menduduki posisi penting di Struktur Pemda, serta masyarakat yang sudah waktunya melakukan pertaubatan massal.

Dari sisi Psikologis, makna taubat membantu seseorang melepaskan rasa bersalah dan beban moral, sehingga ia bisa melanjutkan hidup dengan hati yang lebih bersih. Oleh karenanya, rakyat perlu mencari dan memilih sosok pemimpin yang bersih, tidak memiliki banyak keburukan di masa lalu yang kelam dan berlumuran dosa.

Tidak mudah mencari sosok pemimpin yang ideal, bersih tanpa dosa. Tetapi setidaknya kita dapat berihtiar maksimal dengan cara mempertimbangkan dan memperbandingkan antar Paslon. Sehingga kita memiliki alternatif memilih pribadi yang lebih bersih.

Baca Juga:  SABAR MENUNGGU HASIL PEMILU

Lihat rekam jejak pribadi demi masa depan Boyolali yang lebih baik. Bukan dengan cara menghakimi pribadi yang belum mampu melakukan kebaikan untuk masyarakat Boyolali. Seharusnya rakyat Boyolali mulai sadar diri dan bertaubat terhadap kesalahan memilih pemimpin di masa lalu. Mari kita memilih pemimpin secara cerdas pada pilkada 27 November 2024 nanti.

Kita mempercayai kaidah fikih yang menyatakan :

“Idza ta’aradla mafsadataani u’iya min akhaffi hima”

Artinya : “Jika kita dihadapkan pada dua pilihan yang mengandung mafsadat, maka pilihlah salah satu yang paling ringan mafsadatnya”.

Dengan pemahaman demikian, maka makna Boyolali Bertaubat akan dapat mengingatkan siapapun yang menjadi Pemimpin harus mengutamakan nilai-nilai moral, agama, keadilan dan kesejahteraan rakyat dari pada ambisi pribadi, keluarga dan kelompok kroninya. Pemimpin yang bertaubat adalah mereka yang berkomitmen untuk berpolitik secara bersih, membawa manfaat besar bagi rakyat dan menebus kesalahan dengan tindakan nyata.

Rakyat harus menjauhi sosok yang di masa lalu menyukai korupsi, gemar mempraktekkan kolusi dan nepotisme, menyalahgunaan kekuasaan serta berbuat sewenang-wenang. Rakyat harus jeli, cerdik dan cerdas dalam memilih Kepala Daerah/Pemimpin yang bener, kober, pinter”. Yaitu pemimpin yang jujur, adil, pandai dan cakap serta mampu mewujudkan janji kampanye dan komitmen politik yang berkeadaban demi majunya Boyolali.

22 November 2024

*) Red. Fordem.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *