BELAJAR DARI CHINA (Bagian Pertama)

Oleh: Ahwan Fanani

Fordem.id – 17 tahun lalu saat ikut kursus bahasa Inggris 40 hari di IALF, entah mengapa salah satu pengajar yang berasal dari Amerika sering memberi tema diskusi kelompok tentang politik dan pembangunan. Materi ini terkait dengan writing dan argumentation. Salah satu materi yang dibahas adalah tentang kekuatan dunia. Umumnya peserta di kelas masih berpandangan dan berpendapat bahwa Amerika Serikat masih tetap dan akan menjadi yang terkuat, dari berbagai aspek, termasuk kesenian.

Namun, salah satu peserta yang memang cerdas dan lulusan S2 dari negeri Kincir Angin punya pendapat berbeda. Ia menyatakan China sedang berkembang dan punya potensi untuk menyaingi Amerika. Rupanya pendapat dia mendapat perhatian dari Si Pengajar, meski bagi kita pendapat itu masih jauh dari angan. Yah, China memang berkembang, tetapi untuk dibandingkan Amerika masih jauh.

Baca Juga:  TOLERANSI TIDAK MENGARAH KE PLURALISME AGAMA

Beberapa tahun kemudian ternyata kita tahu, di Eropa hingga Australia sedang digalakkan studi tentang China. Di Uni Eropa ada bagian khusus yang menangani urusan China dan di kampus Australia tersedia studi tentang China.

Semua itu menjadi indikator kesadaran negara-negara maju tentang kebangkitan Sang Naga. Tidak berlebihan pula ternyata dalam kuliah-kuliah pendek (short course) di salah satu universitas terbaik Australia banyak diisi warga China. Kabarnya warga China juga membanjiri kampus-kampus terbaik di Inggris dan Amerika, sebagai berkah pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Bersamaan dengan itu produk-produk China mulai membanjiri Amerika dan Eropa. Di Amerika banyak perusahaan konveksi gulung tikar akibat serbuan produk China. Di wilayah-wilayah tersebut, produk China memiliki kualitas bagus dan harga yang jauh lebih murah. Tidak hanya Eropa, di Makkah-pun sajadah produk China banyak tersedia. Kondisi itu mengkhawatirkan negara-negara maju.

Baca Juga:  DOKUMENTASI DAN MEDIA SOSIAL

Pada tahun 1970-an, kondisi China tidak jauh berbeda dengan Indonesia dan negara- negara berkembang lain. Bahkan orang China jarang yang punya mobil pribadi akibat pembatasan dalam negara komunis. Di masa Deng Xiao Ping, China membuka pintu bagi ekonomi kapitalistik, meski pemerintahannya menganut totaliterian khas Komunisme.

Pemerintahan Deng mencoba untuk menafsirkan ulang ajaran Ketua Mao yang sesuai kebutuhan pasar bebas dan mengambil langkah tegas terhadap korupsi. Sekarang pertumbuhan ekonomi China sangat bagus dan punya cadangan devisa tinggi, termasuk surat hutang negara Amerika.

Sekarang, ekonomi, pembangunan daerah, teknologi, hingga penguasaan pasar China sangat besar. Dengan penduduknya yang besar ia menjadi pasar bagi negara lain dan sekaligus mengekspor barang dari mainan anak hingga hi-tech. Merk-merk HP China, seperti Vivo, Oppo, Huawei, Xiaomi mampu menempati jajaran 10 besar HP paling laris di dunia. Souvernir- souvenir buatan China dijual di tempat-tempat wisata di berbagai kota di dunia.

Baca Juga:  TEKNIK PENULISAN

China bisa membuat pesawat sekelas Pesawat Siluman AS hingga Pesawat generasi 5 Rusia SU-57, walau saat pertama mengikuti pameran dirgantara, menjadi bahan olokan warga yang menonton pameran karena banyaknya sekrup (mur baut) di badan pesawat. Bahkan China bisa membuat kapal induk dengan “menipu” Rusia agar menjual kapal induk bekas yang tidak terpakai, kepada pengusaha China dengan alasan untuk tempat wisata dan bisnis.

Lanjut bagian kedua..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *