Oleh : Musyafa Syamil – PC IMM Banyumas
Fordem.id – Menilik sejarah yang ada, kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di bumi pertiwi ini memiliki dimensi sejarah tersendiri yang akan tetap hangat untuk diperbincangkan. Para pelopor kelahiran IMM kala itu adalah Djasman al-Kindi, Rosyad Sholeh, dan Soedibyo Markoes yang mana mendirikan IMM pada 14 Maret 1964.
Dikatakan mempunyai dimensi kesejarahan, karena lahirnya IMM merupakan respon atas bebagai persoalan keumatan dalam sejarah bangsa kala itu. Begitu Farid Fathoni (1990) dalam bukunya mengatakan bahwa, kehadiran IMM sebenarnya merupakan suatu keharusan sejarah.
Pada fase awal kelahiranya, IMM telah memiliki dinamika dan persoalanya tersendiri. Maka tak heran jika buku sejarah kelahiran IMM yang di tulis oleh Farid Fathoni diberi label Kelahiran yang Dipersoalkan (1990).
Buku tersebut banyak mengungkap berbagai persoalan krusial terkait kelahiran IMM, di antaranya ialah “kelahiranya yang tidak diinginkan.” Belajar dari sejarah kelahiranya, kita semua dapat melihat bahwasanya kelahiran IMM bukanlah suatu hal yang biasa-biasa saja. Kelahiranya disertai banyaknya upaya dan perjuangan. Di waktu yang sama, gerakan IMM hadir memberikan kontribusi dan kemanfaatnya bagi umat, bangsa dan negara.
IMM Era Sekarang
Akhir-akhir ini, entah mengapa ikatan mulai terlihat lesu dari segi gerakanya. Hal ini bisa dilihat dari sisi keputusan-keputusan organisasi yang makin kesini makin rancu, susah ditebak orientasinya. Apakah hal ini disebabkan karena tidak diimbangi keilmuan yang sudah semestinya ada, atau memang faktor kepentingan yang makin kesini makin merajalela? Lesunya gerakan hari ini seharusnya senantiasa dijadikan refleksi oleh setiap kadernya, faktor apa dan bagaimana solusi untuk mengatasinya. Sayangnya, yang terjadi dilapangan tidaklah seperti itu.
Kembali sedikit menilik sejarah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) didirikan oleh para pendahulu kita beriringan dengan semangat merawat bangsa. Tinta emas sudah mencatat dalam romantisme sejarah bangsa bahwasanya IMM tercatat selalu hadir dalam membangun peradaban bangsa dan memberikan kontribusi dalam penyelesaian hirup pikuk problematika kebangsaan. Salah satu alasan hadirnya ikatan tentu sebagai respon dari bentuk perpecahan gerakan yang terjadi di kala itu. Maka tidak berlebihan jika saya sebut IMM sebagai salah satu pelopor persatuan bangsa.
Berbicara dari kacamata ideal, sudah semestinya ikatan senantiasa konsisten dalam semangat pergerakanya, khususnya dalam hal merawat nilai persatuan yang ada. Tentu, nilai tadi harus dimulai dari sisi internal ikatan itu sendiri, baru mampu merambah ke lingkup eksternal. Namun yang menjadi permasalahan saat ini, bukanya menebar manfaat persatuan, malah di internal ikatan sendiri mulai terjadi disintegrasi gerakan. Disintegrasi inilah yang bagi kami menjadi salah satu cerminan lesunya gerakan ikatan hari ini. Pergerakan mulai sporadis, terlihat tidak menggantungkan suatu nilai yang membuahkan kemaslahatan organisasi itu sendiri.
Tentu banyak hal lagi yang bisa dijadikan tolak ukur lesunya gerakan IMM hari ini, salah satunya adalah dominasi kepentingan pribadi dibandingkan organisasi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kepentingan yang mulai menyelinap dalam tubuh IMM. Jargon berlomba-lomba dalam kebaikan rasanya sudah sedikit bergeser menuju gerakan politik kaleng sarden, berlomba-lomba untuk menang sendiri. Realita ini begitu nampak terhadap kader-kader IMM yang mulai sibuk berebut jabatan kekuasaan, entah dalam internal IMM itu sendiri atau diluar ikatan. Yang jadi masalah, perebutan kursi jabatan tadi menimbulkan perpecahan, bahkan hingga terjadinya dualisme kepemimpinan.
Refleksi #60TahunIMM
Dalam rangka menyongsong 1 abad IMM, Milad IMM ke 60 tahun perlu juga dijadikan momentum bermuhasabah. Melihat, ternyata organ dalam tubuh IMM sampai hari ini belum mampu berfungsi dan difungsikan sebagaimana mestinya. Lesunya budaya keilmuan, banyaknya konflik kepentingan merupakan hal yang harus dibenahi oleh kader dan ikatan. Karena bagaimanapun intelektualitas dan gerakan keummatan adalah bagian dari IMM itu sendiri. Disintegrasi dan perpecahan yang terjadi juga merupakan hal yang harus dibuang jauh-jauh. Semangat mengambil peran untuk ikatan dan warga persyarikatan semestinya diwujudkan melalui keharmonisan dan gotong royong, bukan perpecahan.
Perjalanan 60 tahun bukanlah waktu yang singkat, sudah cukup semestinya jika kita berbicara mengenai proses pendewasaan. Terlepas apapun dinamika yang telah terjadi, memang sudah seyogyanya kader IMM kembali meneguhkan diri kepada semangat Fastabiqul Khoirot, berlomba dalam kebaikan dan menjauhi budaya politik kaleng sarden, yang mana ingin menang sendiri. Gerakan dakwah IMM hari ini pun harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan zaman yang ada, jangan sampai kader-kader IMM terjebak dalam romantisme masalalu yang barangkali sudah tidak lagi relevan. Adapun jabatan, kursi kekuasaan yang didapatkan harus senantiasa diperuntukan untuk instrumen dakwah, menebar manfaat untuk kemaslahatan bersama.
Mencoba mendorong setiap dari kita mengingat kembali, trikoda dan tujuan dari IMM itu sendiri. Setelahnya, memunculkan pertanyaan reflektif, sudahkah kita mengusahakanya? Sekian tahun berproses di IMM semestinya menjadi bekal intelektual, pendewasaan yang mendorong kita semua menjadi kader-kader yang bijaksana. Tagline ‘Seutuhnya Indonesia’ juga harus benar-benar merepresentasikan upaya-upaya yang dilakukan. Jangan sampai hanya menjadi tagline untuk euforia tahunan saja. Mengutip apa yang dikatakan kakanda Abdul Musawir Yahya, Ketua DPP IMM dalam prolog buku objektifikasi Ikatan, “Wacana dan keilmuan IMM tidak boleh hanya menjadi wacana utopis, apalagi jauh dari tingkah laku di kehidupan nyata”. Berbenah bukan terpecah. ***