Gus Zuhron
Para muballigh dan aktivis dakwah pada hakikatnya adalah juru selamat. Mereka tidak lelah memberikan pencerahan kepada ummat dengan berbagai nasehat keagamaan. Sabar, ihlas, jujur, qona’ah, akhlakul karimah, menguatkan iman, menghimpun investasi akhirat adalah diantara tema-tema populer yang terus diulang-ulang agar ummat senantiasa terjaga dalam kebaikan.
Meski demikian, semangat itu terkadang tidak sebanding dengan perlakuan ummat kepada para juru selamat ini. Ada banyak perilaku ummat yang tidak mencerminkan penghormatan pada pemangku agama. Diantara perilaku konyol jama’ah dapat ditemui setiap kegiatan ta’lim berlangsung. Ada yang sibuk bermain HP saat kajian, alih-alih khusuk mendengarkan, justru yang terjadi sibuk dengan media sosialnya. Ada yang memilih tempat duduk paling belakang, kemudian bersandar dan ujung-ujungnya mimpi indah. Perilaku lain yang sering dijumpai adalah kesibukan ngobrol dengan tetangga kajian dari awal hingga akhir. Makanan juga sering menjadi kambing hitam penyebab mereka tidak serius dalam mengikuti ta’lim.
Banyak kisah nyata para aktivis dakwah yang datang tidak disambut dan pulang tidak diantar. Tipisnya bisaroh yang diberikan panitia tidak sebanding dengan megahnya masjid yang mereka bangun, lebih menyakitkan lagi ketika pihak yang mengundang mengatakan “mohon maaf ustadz kami sengaja tidak memberikan amplop khawatir akan mempengaruhi keihlasan ustadz dalam berdakwah”.
Para pendakwah yang misi utamanya menyelamatkan ummat selalu dihargai murah. Ini sangat kontras dengan fakta bahwa ketika masyarakat mengundang artis dangdut dengan bayaran selangit padahal mereka mengajak pada kemaksiatan.
Ada sahabat yang bercerita suatu ketika diundang oleh jama’ah jam 8 pagi untuk memberikan tausiyah. Muballigh yang satu ini datang persis sesuai dengan permintaan jamaa’ah. Ternyata sampai lokasi belum ada satupun orang yang siap mendengarkan, baru setelah menunggu lebih dari 3 jam pengajian dimulai. Kisah yang serupa juga dialami oleh aktor-aktor dakwah yang lain. Seolah para muballigh ini tidak punya acara lain, pengangguran, hidupnya santai sehingga seenaknya disandera waktunya dengan agenda yang tidak jelas.
Sahabat yang berbeda bercerita kalau pernah memberikan tausiyah di sebuah Masjid yang jama’ahnya mayoritas duduk di teras luar, sambil udud, lier-lier ngantuk, sedangkan dirinya harus berada di mimbar dalam masjid dan hanya ditemani beberapa gelintir jama’ah. Keadaan itu diperparah dengan sound system yang buruk dan suasana pengajian yang kurang kondusif.
Kisah berlanjut ketika jama’ah menuntut muballigh harus lucu, tidak boleh lama, tidak boleh menyindir ini dan itu, tema pengajian didikte oleh panitia dan seterusnya. Nanti kalau tidak sesuai ekspektasi akan dihujat dan dihukum dengan cara tidak diundang lagi. Tuntutan mereka kepada para aktivis dakwah sering tidak berbanding lurus dengan penghormatannya.
Jika ada ketua partai, menteri, bupati, walikota, gubernur, presiden, para direktur BUMN tersangkut masalah maka ada banyak pihak yang siap membelanya. Tapi bagaimana jika yang terkena masalah adalah para muballigh penggerak dakwah?
Sungguh mereka yang masih bertahan di jalan ini adalah orang-orang yang siap hidup dalam kesunyian. Meskipun terkadang dihantui kekhawatiran akan kesejahteraan, disiksa dengan teror moral. Sedikit saja melakukan kesalahan maka cacian dan hujatan akan jauh lebih berat diterimanya. Hanya mandat Tuhan yang menyebabkan mereka terus berusaha menikmati jalan terjal berliku.
Menyerah jelas bukan pilihan, namun sebagai manusia biasa terkadang perasaan sedih itu sesekali muncul ketika harus berhadapan dengan jama’ah yang nir adab. Apalagi sebagian jama’ah itu adalah mereka yang hafal betul lagu “Sang Surya”.
Pengajian Ramadan Jogjakarta : 15 Maret 2024