Gus Zuhron
“Jika tidak bisa membantu Muhammadiyah, setidaknya jangan berdiri di barisan perusak Muhammadiyah”. Kalimat itu terpampang jelas di bak truk yang sedang melintasi jalan. Bisa jadi pemiliknya adalah kader militan sejati, saking militannya dipastikan mobil yang dikendarainya harus melekat pesan tentang Muhammadiyah. Atau bisa juga pemilik truk baru saja beli kendaraan dari orang Muhammadiyah dan pesan itu belum sempat dihapus. Ada banyak kemungkinan dibalik pesan mendalam tentang pentingnya menjaga warisan Kiyai Dahlan.
Harus diakui, rumah besar Muhammadiyah menjadi daya tarik bagi banyak orang. Aset kekayaan Muhammadiyah terbentang diseluruh penjuru negeri dengan beragam bentuknya. Oleh karenanya, wajar jika eksistensi persyarikatan adalah wujud keseksian yang dilirik oleh banyak pencari suaka pekerjaan. Ada di antara mereka yang bergabung dengan niat tulus, tatapi ada pula yang niatnya modus.
Dalam kontek AUM (Amal Usaha Muhammadiyah), patut diduga kelompok pencari suaka kerja jauh lebih mendominasi dibanding mereka yang tulus melihat AUM sebagai alat perjuangan dakwah. Tidak perlu pusing tujuh keliling untuk menggerakkan Muhammadiyah, asal hajat hidupnya sudah terpenuhi semua dianggap cukup.
Kelompok ini melihat Muhammadiyah dan AUM dengan sudut pandang dikotomis. Akibatnya banyak aktor AUM yang melakukan pembangkangan dengan kebijakan persyarikatan. Raja-raja kecil yang menguasai aset Muhammadiyah sulit dikendalikan dengan berbagai dalih.
Dalam perspektif otokritik, harus diakui ada tiga titik lemah yang menyebabkan semua itu terjadi.
_Pertama,_ sistem rekruitmen yang tidak mampu menggaransi terjaringnya kader- kader militan Muhammadiyah. Dalil yang sering diajukan adalah profesionalitas dan minimnya kader yang sesuai dengan kebutuhan AUM.
_Kedua,_ lemahnya sistem pembinaan. Iklim ideologis dan kaderisasi masih bersifat pelengkap. Belum secara hegemonik terinternalisasi dalam setiap denyut nadi perkembangan AUM.
_Ketiga,_ monitoring dan evaluasi tidak mengukur secara serius mengenai nilai-nilai Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
Semua kelemahan itu dimanfaatkan oleh para pekerja tuna moral untuk terus bersarang secara masif dalam AUM. Menghembuskan nafas perlawanan, meluaskan jejaring yang menguatkan posisi mereka agar tidak mudah digoyahkan. Perilaku nir adab ini perlu dihentikan dengan beragam cara, agar aset-aset Muhammadiyah berfungsi sebagaimana falsafah pendiriannya.
Inilah agenda penting yang tidak boleh ditunda. Kekaffahan dalam bermuhammadiyah harus menjadi isu utama dan program utama. Membersihkan benalu persyarikatan akan menjadikan langkah gerak Muhammadiyah semakin energik, gesit dan progresif.
Kesalahan masa lalu kita anggap sebagai episode tutup buku. Saatnya membuka lembaran baru untuk Muhammadiyah yang lebih bersih dan berkemajuan.
_*) Sekretaris MPKSDI PWM Jateng, Dosen AIK Unimma Magelang._