Gus Zuhron
Patut diduga banyak wajah murung pasca hasil pemilu dikemukakan. Sebagian wajah itu adalah warga persyarikatan Muhammadiyah yang terlanjur mendukung dengan super serius namun hasilnya tidak sesuai harapan.
Meskipun baru sebatas perhitungan cepat atau quick- count, namun secara saintifik metode ini cukup jitu meramalkan hasil riil sebuah proses pemilihan. Pasangan Prabowo-Gibran dinobatkan sebagai pemenang dengan angka mutlak. Jika hasil perhitungan KPU nantinya sama dengan quick-count, maka dipastikan pemilu hanya akan berjalan satu putaran.
Dalam lingkungan Muhammadiyah setidaknya terdapat tiga arus sikap warga persyarikatan dalam melihat hasil pemilu.
Pertama, kelompok kritis.
Adalah mereka yang masih menggunakan akal sehat dalam melihat kekalahan kontestasi dan menggunakan jalur hukum untuk menggugat, disertai barang bukti kecurangan yang ditemukan. Ini jalan yang konstitusional, meskipun hasilnya belum tentu menggembirakan.
Usulan hak angket untuk menyelidiki keruwetan proses pemilu adalah langkah politis yang cukup rasional. Seruan moral yang dilakukan para tokoh bangsa untuk mengkoreksi pemilu perlu mendapatkan apresiasi sebagai sebuah langkah yang mengedepankan moral intelektual.
Kedua, kelompok realistis.
Kategori kelompok ini adalah mereka yang bersikap menerima hasil pemilu sebagaimana yang telah berjalan. Orang- orang ini pada dasarnya menyadari bahwa pemilu memang mengalami banyak persoalan, akan tetapi persoalan itu tidak bisa ditimpakan hanya pada pihak-pihak tertentu saja.
Kecurangan pemilu pada hakikatnya dilakukan oleh semua kubu pengusung pasangan calon dengan kadar yang berbeda. Money politic, menggunakan aparat negara, intimidasi dan seterusnya adalah sesuatu yang nyata terjadi di lapangan. Fakta ini membuat masa realistis memilih untuk legowo menerima dari pada menghabiskan energi untuk menggugat yang hasilnya tidak akan jauh berbeda.
Ketiga, kelompok miris.
Adalah kelompok penderita kekalahan yang lebih berwatak sumbu pendek. Mereka biasanya akan memilih jalan demonstrasi dengan argumen yang kurang memadai, atau hobby share tulisan yang kurang ilmiah dan dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, membagikan konten medsos yang mewakili perasaan mereka meskipun isinya jauh dari kebenaran. Atau mengutuk dengan sumpah serapah pada pasangan pemenang, pemerintah, penyelenggara pemilu atau siapapun yang berbeda dengan alam pikirannya. Kelompok brisik ini jumlahnya tidak seberapa, namun terkadang menghegemoni jagat maya.
Dalam masalah hasil pemilu ini, sesungguhnya sikap resmi Muhammadiyah sangatlah bijaksana. Salah satu pernyataan yang disampaikan untuk mensikapi proses pasca pemilihan adalah “Semua pihak hendaknya tetap menjaga situasi yang kondusif dengan tetap menjaga sikap saling menghormati dan tenggang rasa. Kepada pasangan Capres-cawapres yang menang dan para pendukungnya hendaknya tidak jumawa dan euforia yang berlebihan. Bagi yang kalah hendaknya berjiwa besar dan legawa menerima hasil pemilu.”
Pernyataan tersebut diperkuat dengan poin selanjutnya : “Apabila ada pihak-pihak yang berkeberatan dengan hasil pemilu hendaknya menyelesaikan melalui jalur Mahkamah Konstitusi (hukum) dan tidak menempuh cara-cara pengerahan massa yang berpotensi memicu kekerasan dan konflik horizontal”.
Butuh proses panjang untuk menuju dewasa dan rasional dalam mensikapi pesta lima tahunan. Politik harus ditempatkan sebagai politik, tanpa perlu mempolitisasi agama sebagai bumbu yang justru berpotensi memperkeruh suasana. Sikap ini perlu ditumbuh- suburkan pada seluruh lapisan warga persyarikatan agar lebih arif dalam melihat jalannya kontestasi. Cara ini akan menghindarkan pada sikap fanatik berlebihan yang ujungnya justru merugikan persyarikatan. Waspadalah.
Kamis, 22 Februari 2024.
*) Sekretaris MPKSDI PWM Jawa Tengah, Dosen Unimma Magelang.